Minggu, 30 Januari 2011

Ringan dalam lisan berat dalam timbangan.:

Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw bersabda: ``Ada buah kalimat yg ringan di lisan namun berat di timbangan,& keduannya dicintai ar-Rahman,yaitu 'Subhanallahil wahamdihi, Subhanallahil 'adhzim'. `` {HR Bukhari dan M...uslim}

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah menerangkan, ``Kedua kalimat ini merupakan penyebab kecintaan Allah kepada seorang hamba.`` Beliau berpesan, ``Wahai hamba Allah,sering"lah mengucapkan dua kalimat ini.Ucapkanlah keduannya secara kontinyu,karena kedua kalimat ini berat di dalam timbangan (amal) & dicintai ar-Rahman,sedangkan keduanya sama sekali tidak merugikanmu sedikitpun sementara keduanya sangat ringan diucapkan oleh lisan, subhanallahil wabihamdi, subhanallahil 'adhzim'. Maka sudah semestinya setiap insan mengucapkan dzikir itu & memperbanyaknya. Di dalam hadist ini Rasulullah saw menyebut nama Allah dg nama-Nya ar-Rahman -Yang Maha Pemurah-.

Hikmahnya adalah wallahu a'lam- karena itu menujukkan keluasan kasih sayang Allah ta'ala.Sebagai contohnya,di dalam hadist ini diberitakan bahwa Allah berkenan memberikan balasan pahala yg banyak walaupun amal yg dilakukan hanya sedikit. Subhanallahil wabihamdih Maka ucapan subhanallah -Maha Suci Allah- adalah; anda menyucikan Allah ta'ala dari segala aib & kekurangan & anda menyatakan bahwa Allah Maha Sempurna dari segala sisi.Hal itu diiringi dg pujian kepada Allah -wabihamdih- yg menunjukkan kesempurnaan karunia & kebaikan yg dilimpahkan-Nya kepada makhluk serta kesempurnaan hikmah & ilmu-Nya.

Apabila telah terpatri dalam diri seorang hamba mengenai pengakuan & keyakinan terhadap kesucian pada diri Allah dari segala kekurangan & aib,maka secara otomatis akan terpatri pula di dalam jiwanya bahwa Allah adalah Sang pemilik berbagai kesempurnaan sehingga yakinlah dirinya bahwa Allah adalah Rabb bagi makhluk-Nya.Sedangkan keesaan Allah dalam hal rububiyah tersebut merupakan hujjah/ argumen yg mewajibkan manusia untuk mengtauhidkan Allah dalam hal ibadah -tauhid uluhiyah-.

Dengan demikian maka kalimat ini mengandung penetapan kedua macam tauhid tersebut -rubibiyah & uluhiyah- Makna pujian kepada Allah Al-Hamdu,atau pujian adalah sanjungan kepada Allah dikarenakan sifat"Nya yg sempurna,nikmat"-Nya yg melimpah ruah,kedermawanan-Nya kepada hamba-Nya. Allah ta'ala memiliki nama,sifat & perbuatan yg sempurna.Semua nama Allah adalah yg terindah dam mulia,tidak ada nama Allah yg tercela.

Demikian pula dalam hal sifat"-Nya adalah sifat yg sempurna dari segala sisi.Perbuatan Allah juga senantiasa terpuji,karena perbuatan-Nya berkisar antara menegakkan keadilan & memberikan keutamaan.Bagaimana pun keadaannya Allah senantiasa terpuji. Syakh al-Utsaimin rahimahullah berkata, ``al-Hamdu adalah mensifati sesuatu yg terpuji dg sifat" sempurna yg diiringi oleh kecintaan & pengagung -dari yg memuji-,kesempurnaan dalam hal dzat,sifat,maupun perbuatan"Nya. {Tafsir Jus 'Amma, hal 10} Subhanallahil 'adhzim' Makna ucapan ini adalah tidak ada sesuatu yg lebih agung & berkuasa melebihi kekuasaan Allah ta'ala & tidak ada yg lebih dalam ilmunya daripada-Nya.

Maka Allah ta'ala itu Maha agung dg dzat & sifat"Nya. Hal itu menunjukkan keagungan,kemuliaan,& kekuasaan Allah ta'ala,inilah sifat" yg dimiliki oleh-Nya.Di dalam bacaan dzikir ini tergabung antara pujian & pengagungan yg mengadung perasaan harap & takut kepada Allah ta'ala. Semoga bermanfaat buat ana dan antum sekalian. Syukran Salam ukhuwah . . . . 

Habib Muhammad bin Hadi Assegaf dari kota Seiwun Hadramaut.:

Habib Muhammad bin Hadi Assegaf dari kota Seiwun Hadramaut (Allahu Yardho anhu fi hayatih. Amin), bercerita :

Pada suatu saat seorang laki laki biasa dan sederhana, bukan dari golongan terhormat, ningrat apalagi golongan darah biru. Bukan dari dari golongan keluarga kaya apalagi dari keluarga penguasa, tetapi dari golongan biasa yang menerima jalan kehidupannya dan menikmatinya menuju satu tujuan yang dijanjikan Tuhannya lewat apa yg disampaikan UtusanNya, berjalan dimuka bumi mengerjakan seperti apa yg menjadi rutinitasnya sehari harinya.

Suatu hari saat dia berjalan melewati satu lorong jalan di sebuah perkampungan perumahan langkahnya dihentikan oleh penglihatannya dan pendengarannya. Dia melihat pada satu bangunan rumah yg besar yg dipenuhi banyak orang yg berpakaian serba putih dan dari situ terdengar adanya uraian pimbicaraan ilmu.

"Ooh ada majlis ilmu rupanya", dia bergumam, "lebih baik saya ikut bergabung bersama mereka mudah mudahan aku akan mendapatkan kebaikan dan keberkahan", bathinnya berkata.

Lalu diapun melangkah memasuki majlis itu dan duduk bergabung dgn orang yg sudah hadir disitu yg sedang khusuk menyimak uraian uraian yg sedang disampaikan.

Terdengar seorang diantara beberapa orang yg duduk didepan berbicara memberikan uraian, yg katanya :

"Al alaamah al wali Al habib Fulan bin fulan bin fulan adalah ulama yg besar, yg memiliki karomah yg luar biasa, beliau bisa berjalan diatas air, ibadah beliau dalam satu malam 200 rakaat dan berpuasa selama 20 tahun dan banyak lagi ibadah beliau yg lainnya. Masya Allah....... Serentak yg hadiir bergumam ta'jub..... Begitupun laki laki itu ta'jub dan penasaran ingin tahu siapa gerangan yg diceritakan, lalu bertanya "Masya Allah Siapakah beliau gerangan

ya tuan ?" Terdengar jawaban dari beberapa orang yg didepan bersamaan...."Jaddaanaa !!!" itu kakek kami, leluhur kami. Laki-laki mangut2 ta'jub.

Lalu ustad lain melanjutkan uraian : Al imam Al alaamah Syech As Sayyid fulan bin fulan bin fulan belaiu adalah ulama sholeh yg terkenal dijamannya, beliau tidak tidur selama 30 tahun, setiap minggunya beliau 3 kali menghatamkan Alqur'an, setiap malamnya berdzikir sebanyak 150 ribu kali. Masya Allah........... Yg hadir terkagum ta'jub.

Laki laki itu bertanya lagi ingin tahu......"Siapakah beliau tuan ?.......kontan terdengar jawaban dari mereka " Jaddaana " begitupun Habib fulan bin fulan, dan habib fulan bin fulan. Itu kakek2 kami, para leluhur kami semua, kami adalah dari keturunan orang2 terhormat. Kakek2 kami adalah para wali. Masya Allah .....saut laki laki itu.....lalu ia pun berkata lagi Kalian semua adalah dari keturunan orang orang mulya ? " Ya " mereka menjawab. Tiba tiba laki laki itu menengadahkan wajahnya dan mengangkat tangan dan berkata dengan suara keras dan lantang :

" Ya Allah....... Alhamdulillah aku bersyukur atas RahmatMu..... Engkau jadikan dimuka bumi ini bukan dari ketururunan orang2 yg mulya tp Kau jadikan diriku dari gololongan orang2 biasa. Seandainya Kau jadikan dari keturunan mereka orang2 yg mulya, maka aku akan meminta dan memohon kepadaMu untuk membinasakan diriku secepatnya agar aku selamat dari fitnahnya orang2 yg telah memulyakan Engkau Ya Allah...... karena aku takut aku menghinakan mereka bukan memulyakan mereka, aku hanya pandai membanggakan kebaikan mereka bukan meniru mengikuti amal kebaikan mereka, aku takut hanya dapat mengandalkan nama besar mereka bukan menghidupkan amal kebaikan mereka, nama mereka mulya dan dihormati karena pengorbanan dan amal kebaikan mereka yg ikhlas sedangkan aku hanya minta dimulyakan dan di hormati karena merasa keturunan mereka, pangkat yg mereka dapatkan adalah pemberian dari ketulus ikhlasan dan akhlak adab mereka yang luhur, sedangkan aku menaruh pangkat mereka dibelakang namaku sebagai nasab agar aku dihormati seperti orang2 menhormati mereka.

Alhamdulillah..... Ya Allah aku bersyukur Engkau jadikan diriku dari kakek2ku para leluhurku yg gelar dan pangkatnya serta amal2 kebaikannya yg tersembunyi di sisiMu yg aku tdk bisa membanggakannya.

Ya Allah jadikanlah keturunan2ku bukan dr golongan yg hanya dapat membanggakan para leluhurnya tp jadikanlah mereka keturunanku dr golongan yg dapat meneruskan dan meniru jejak amal2 kebaikan leluhurnya.

Amin Ya Robbal alamin.

Setelah selesai berdoa lalu mengusapkan kedua belah telapak tangannya, laki laki itu berdiri lalu pergi meninggalkan majlis itu.

Ini bahan renungan buat kita dan sebagai pertanyaan utk kit sendiri, dimanakah kita berada? apakah kita berada disisi yg mengikuti jejak langkah mereka para sholihin atau kita berada disisi yg menghinakan mereka......???????????

Allahu Yubarrik lana wa lakum jamiean, laahaula walaa quwwata illa billahil aliyyil adhim.

Allahumma sholli alaa sayyidina Muhammad wa alaa alihi sayyidina Muhammad wa shohbih.  
 

Jumat, 21 Januari 2011

Mulut Dapat Membawamu Ke Neraka.:

Ada delapan perkara bahayanya ucapan dari mulut yang niscaya akan menuntunmu masuk ke dalam api neraka. Jika lisan adalah dua mata pisau, maka pergunakanlah lisan dengan sebaik-baiknya.

Lidah memang diciptakan oleh Allah tidak bertulang, agar manusia dapat berucap dengan sempurna. Akan tetapi sering sekali orang bilang “lidah memang tidak bertulang, wajar saja jika berbohong” Jika memang seperti itu adanya, bagaimana jika Allah menciptakan lidah dengan bertulang agar manusia tidak lagi berdusta?

Lisan merupakan karunia yang sangat 'mahal' dan vital bagi manusia. Tanpa lisan, barangkali hidup bagi manusia tiada artinya. Dengan lisan, manusia dapat mengenal rasa dan dapat berbicara dengan sesama.
Dengan lisan pula manusia dapat berkomunikasi tanpa mengalami kesusahan.

Selain itu, manusia bisa juga mulia dengan lisannya tersebut. Begitupun sebaliknya, manusia bisa hina karena lisannya. Hina, karena tidak bisa menggunakannya sesuai kehendak dan aturan-aturan yang ditetapkan penciptanya.

Banyak sekali hadits Rasulullah SAW. yang menganjurkan kita untuk selalu menjaga lisan. Bahkan Rasulullah juga sering mengecam orang yang tidak pandai menjaga lisannya.

Rasulullah pernah berpesan: ”Barang siapa yang diam (tidak banyak bicara) maka dia akan selamat” (H.R. At-Tarmizi).

Dalam hadits lain disebutkan, Al-Ma’shum Saw. juga pernah berwasiat: “Barang siapa yang bisa menjamin (keselamatan) antara dua rahangnya (lisan) dan dua kakinya (faraj) maka aku menjamin baginya surga” (H.R. Bukhari).

Lisan ibarat pisau bermata dua, bila digunakan pada hal-hal yang baik maka akan mendatangkan kemaslahatan (kebaikan). Namun sebaliknya, bila digunakan pada hal-hal yang buruk, kemudhratan pun akan mengiringinya.
Tidak hanya penyakit hati yang dapat menjangkit pada manusia, namun penyakit lisan pun dapat menjangkit pada manusia. Berikut diantaranya penyakit lisan yang harus dihindari:

1. Pembicaraan yang tidak Bermanfaat

“Salah satu tanda kesempurnaan Islam seseorang adalah meninggalkan yang tidak bermanfaat baginya” (H.R. At-Tarmizi).

Yang dimaksud dengan “tidak bermanfaat” dalam hadits tersebut antara lain, muncul melalui lisan seperti ghibah, fitnah, menggunjing, berbohong dll. Padahal, pembicaraan yang tidak berarti sama sekali hanya membuang-buang waktu, dan kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT.

Banyak orang yang tidak mengetahui batasan-batasan perkataan yang bermanfaat ataupun tidak bermanfaat, sehingga mengakibatkan kebiasaan baginya. Pada akhirnya nanti, kebiasaan yang tidak diketahui baik-buruknya itu sulit untuk merubahnya.

Secara singkat mungkin bisa kita katakan bahwa batasan baik atau buruknya perkataan seorang adalah diamnya, tidak mengakibatkan celaka bagi orang lain dan tidak mengakibatkan rugi terhadap dirinya sendiri.

2. Perdebatan dan Pertengkaran

Perdebatan dan pertengkaran acapkali berbuntut pada perpecahan. Makanya, Rasulullah Saw. melarang umatnya yang suka perdebatan seraya bertutur:

“Tidaklah sesat suatu kaum (dahulu) setelah Allah menunjuki mereka, kecuali karena mereka suka berdebat atau bertengkar” (H.T. At-Tarmizi).

Dalam sabdanya yang lain, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah: “Tidak sempurna iman seorang hamba hingga dia meninggalkan pertikaian dan perdebatan walaupun dia dalam posisi benar” (H.R. Ibnu Abi ad-Dunya).

3. Suka Melaknat

Marah sering kali membawa seseorang lupa diri, sehingga kata-kata yang terucap dari kedua bibirnya mengakibatkan tidak terkendali.

4. Bercanda yang Berlebihan

Sejatinya canda itu lebih identik dilarang oleh Raulullah Saw. kecuali pada hal-hal yang sewajarnya.
Sabda Rasulullah: “Jangan kamu mendebat saudaramu dan jangan kamu mencandainya” (H.R. At-Tarmizi).

Artinya, canda terhadap sesama selama dalam batas-batas yang wajar tidaklah dilarang. Akan tetapi, yang sering terjadi ketika canda sudah melebihi batas, sehingga aib sesama tidak jarang terbongkar gara-gara canda yang berlebihan. Imbasnya, berbuntut pada putusnya hubungan silaturahmi bahkan teman bisa menjadi lawan hanya karena canda yang berlebihan.

5. Mengejek dan Mencemoohkan orang lain

Allah SWT. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi orang (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain, karena boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan). (Q.S. Al-Hujurat: 11).

6.Ghibah (gosip)

Secara singkat, ghibah (gosip) bisa diartikan dengan menyebut atau menceritakan hal yang tidak baik dari pribadi seseorang. Sehingga, jika yang diceritakan mengetahuinya akan mnimbulkan permusuhan diantara keduanya. Biasanya, sesorang yang suka mengghibah tidak akan tenang jika melihat orang bahagia, senang dan gembira.

7.Namimah (mengadu domba)

Berbeda dengan namimah (adu domba), ghibah lebih kepada ingin melaga antara dua orang yang awalnya bersahabat akhirnya bermusuhan. Adu domba tidak saja dari perkataan, namun bisa juga dengan isyarat atau surat dsb.

Sabda Nabi Saw.”Tidakkah kamu ingin aku beritahukan orang yang paling jahat diantara kamu? Kata sahabat: “tentu wahai Rasulullah” kemudian nabi menyebutkan adu domba salah satunya.” (HR. Ahmad dari Abu Malik al-Asy’ari)

8.Memuji berlebihan

Adalah sifat manusia ingin selalu dipuji. Namun, terkadang yang memuji terlalu berlebihan sehingga sampai pada batas dusta. Pernah seorang sahabat memuji sahabat yang lain (dengan berlebihan), lalu Nabi Saw. mendengarnya seraya berkata ”Celakalah engkau, karena engkau (seolah-olah) telah memotong leher saudaramu, sekalipun dia senang mendengar apa yang kau ceritakan.”

Jika lisan adalah dua mata pisau, maka pergunakanlah lisan dengan sebaik-baiknya jangan sampai ada hati yang tersayat oleh ucapan kita, jangan sampai ada hati yang terluka karena perkataan kita.

Semoga Bermanfaat, Wassalam.

Kamis, 20 Januari 2011

KH. Muhammad Dimyati Al Bantani.:


KH Muhammad Dimyati Al Bantani atau dikenal dengan Abuya Dimyati adalah sosok yang kharismatis. Beliau dikenal sebagai pengamal tarekat Syadziliyah dan melahirkan banyak santri berkelas. Mbah Dim begitu orang memangilnya. Nama lengkapnya Muhammad Dimyati bin Syaikh Muhammad  Amin. Dikenal sebagai ulama yang sangat kharismatik. Muridnya ribuan dan tersebar hingga mancanegara.

Abuya dimyati orang Jakarta biasa menyapa, dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak kenal menyerah. Hampir seluruh kehidupannya didedikasikan untuk ilmu dan dakwah.
Menelusuri kehidupan ulama Banten ini seperti melihat warna-warni dunia sufistik. Perjalanan spiritualnya dengan beberapa guru sufi seperti Kiai Dalhar Watucongol. Perjuangannya yang patut diteladani. Bagi masyarakat Pandeglang Provinsi Banten Mbah Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan. Lahir sekitar tahun 1925 dikenal pribadi bersahaja  dan penganut tarekat yang disegani.

KH. Muhammad Dimyati Al Bantani
 Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah. Pondoknya  di Cidahu, Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati dikenal sosok ulama yang mumpuni. Bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya dikenal sebagai penganut  tarekat Qodiriyyah Wan Naqsabandiyyah.

Tidak salah kalau sampai sekarang telah mempunyai ribuan murid. Mereka tersebar di seluruh penjuru tanah air bahkan luar negeri. Sewaktu masih hidup , pesantrennya tidak pernah sepi dari  kegiatan mengaji. Bahkan Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki seperti ini karena tiap dinding dari tempat pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-tamu penting seperti pejabat pemerintah maupun para petinggi negeri. Majelis Seng inilah yang kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari semenjak kebakaran hingga sampai wafatnya.

Lahir dari pasangan H.Amin dan Hj. Ruqayah sejak kecil memang sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya. Beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren seperti Pesantren Cadasari, Kadupeseng Pandeglang. Kemudian ke pesantren di Plamunan hingga Pleret Cirebon.

Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.

Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’. Karena, kewira’i annya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada peningkatan santri mengaji.

Jalan Spritual

Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyati ini menempuh jalan spiritual yang unik. Dalam setiap perjalanan menuntut ilmu dari pesantren yang satu ke pesantren yang lain selalu dengan kegiatan Abuya mengaji dan mengajar. Hal inipun diterapkan kepada para santri. Dikenal sebagai  ulama yang komplet karena tidak hanya mampu mengajar kitab tetapi juga dalam ilmu seni kaligrafi atau khat. Dalam seni kaligrafi ini, Abuya mengajarkan semua jenis kaligrafi seperti khufi, tsulust, diwani, diwani jally, naskhy dan lain sebagainya. Selain itu juga sangat mahir dalam ilmu membaca al Quran.

Bagi Abuya hidup adalah Tidak salah kalau KH Dimyati , Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah pernah berucap bahwa belum pernah seorang kiai yang ibadahnya luar biasa. Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Sejak pukul 6 pagi usdah mengajar hingga jam 11.30. setelah istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung mengajar lagi hingga Ashar. Selesai sholat ashar mengajar lagi hingga Maghrib.  Kemudian wirid hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi hingga pukul: 24 malam. Setelah itu melakukan qiyamul lail hingga subuh.

Di sisi lain ada sebuah kisah menarik. Ketika bermaksud mengaji di KH Baidlowi, Lasem. Ketika bertemu dengannya, Abuya malah disuruh pulang. Namun Abuya justru semakin mengebu-gebu untuk menuntut ilmu. Sampai akhirnya kiai Khasrtimatik itu menjawab, “Saya tidak punya ilmu apa-apa.” Sampai pada satu kesempatan, Abuya Dimyati memohon diwarisi thariqah.  KH Baidlowio pun menjawab,” Mbah Dim, dzikir itu sudah termaktub dalam kitab, begitu pula dengan selawat, silahkan memuat sendiri saja, saya tidak bisa apa-apa, karena tarekat itu adalah sebuah wadzifah yang terdiri dari dzikir dan selawat.”  Jawaban tersebut justru membuat Abuya Dimyati penasaran. Untuk kesekian kalinya dirinya memohon kepada KH Baidlowi. Pada akhirnya Kiai Baidlowi menyuruh Abuya untuk solat istikharah. Setelah melaksanakan solat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya Abuya mendatangi KH Baidlowi yang kemudian diijazahi Thariqat Asy  Syadziliyah.

Dipenjara Dan Mbah Dalhar

Mah Dim dikenal seagai salah satu orang yang sangat teguh pendiriannya. Sampai-sampai karena keteguhannya ini pernah dipenjara pada zaman Orde Baru. Pada tahun 1977 Abuya sempat difitnah dan dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini disebabkan Abuya sangat berbeda prinsip dengan pemerintah ketika terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya dituduh menghasut dan anti pemerintah. Abuya pun dijatuhi vonis selama enam bulan. Namun empat bulan kemudian Abuya keluar dari penjara.

Ada beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya Dimyati. Diantaranya adalah Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan tentang hidzib nashr dan hidzib ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H 1379/ 1959 M. Kemudian kitab Aslul Qodr yang didalamya khususiyat sahabat saat perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr isinya menguraikan tentang hidzib Nasr. Rochbul Qoir I dan II yang juga sama isinya yaitu menguraikan tentang hidzib Nasr.

Selanjutnya kitab Bahjatul Qooalaid, Nadzam Tijanud Darori. Kemudian kitab tentang tarekat yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah didalamnya membahas tentang tarekat Syadziliyyah. Ada cerita-cerita menarik seputar Abuya dan pertemuannya dengan para kiai besar. Disebutkan ketika bertemu dengen Kiai Dalhar Watucongol Abuya sempat kaget. Hal ini disebabkan selama 40 hari Abuya tidak pernah ditanya bahkan dipanggil oleh Kiai Dalhar. Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil Mbah Dalhar. “Sampeyan mau jauh-jauh datang ke sini?” tanya kiai Dalhar. Ditanya begitu Abuya pun menjawab, “Saya mau mondok mbah.” Kemudian  Kiai Dalhar pun berkata,” Perlu sampeyan ketahui, bahwa disini tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada pada diri sampeyan. Dari pada sampeyan mondok di sini buang-buang waktu, lebih baik sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada dan syarahi kitab-kitab karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut masih perlu diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam.”

Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati menjawab, ”Tujuan saya ke sini adalah untuk mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi? Kalau saya disuruh mengarang kitab, kitab apa yang mampu saya karang?” Kemudian Kiai Dalhar memberi saran,”Baiklah, kalau sampeyan mau tetap di sini, saya mohon ajarkanlah ilmu sampeyan kepada santri-santri yang ada di sini dan sampeyan jangan punya teman.” Kemudian Kiai Dalhar memberi ijazah tareqat Syadziliyah kepada Abuya.

Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya Dimyati tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun.

Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’. Karena, kewira’i annya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada peningkatan santri mengaji.

Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat. 

Syekhuna Al Alim Al Alamah Muhammad Arsyad Al Banjary (Datuk Kalampaiyan).:

Syekhuna Al Alim Al Alamah Muhammad Arsyad Al Banjary.:

•    Riwayat Hidup
Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang juga dikenal dengan nama Tuanta Salamakka dan Datuk Kalampayan, lahir di Desa Lok Gabang, Martapura, Kalimantan Selatan pada 15 Safar 1122 H, bertepatan dengan 19 Maret 1710 M. Dia merupakan putra tertua dari lima bersaudara, ayahnya bernama ‘Abd Allah dan ibunya bernama Siti Aminah. Muhammad Arsyad lahir di lingkungan keluarga yang terkenal taat beragama. Kondisi lingkungan yang baik ini mempunyai andil yang besar dalam membentuk kepribadian Muhammad Arsyad selanjutnya.

Syekhuna Al Alim Al Alamah Muhammad Arsyad Al Banjary.:
Ketika beliau berumur sekitar tujuh tahun, Sultan Tahlil Allah (1700-1745 M), penguasa Kesultanan Banjar pada waktu itu, meminta kepada orang tua Arsyad agar bersedia menyerahkan anaknya untuk dididik dan dibesarkan di lingkungan istana sekaligus diadopsi sebagai anak angkatnya. Keinginan ini dilakukan, karena Sultan tertarik dengan kecerdasan dan ketrampilan Arsyad muda ketika mengadakan kunjungan kerja ke Desa Lok Gabang. Meskipun ‘Abd Allah dan Aminah, orang tua Arsyad, sebetulnya merasa keberatan untuk melepaskan anak tertuanya itu untuk diadopsi sultan, namun mereka tidak kuasa untuk menolak maksud baik Sultan. Merekapun menyerahkan anaknya kepada Sultan untuk tinggal bersama anak-anak dan cucu-cucu keluarga istana. Muhammad Arsyad tinggal di lingkungan istana Kesultanan Banjar ini selama sekitar 23 tahun, karena pada umur sekitar 30 tahun dia merantau untuk menuntut ilmu di Haramain; Mekkah dan Madinah. Ia belajar di Mekkah kurang lebih 30 tahun dan belajar di Madinah kurang lebih 5 tahun. Dia kembali lagi ke Banjar pada Ramadhan 1186 H/Desember 1772.

Sebelum berangkat untuk menuntut ilmu ke Mekkah dan Madinah, Muhammad Arsyad dikawinkan oleh Sultan dengan seorang wanita bernama Bajut yang ditinggalkannya dalam kondisi hamil. Istrinya ini melahirkan seorang bayi perempuan yang kemudian diberi nama Syarifah, ketika Muhammad Arsyad masih berada di perantauan, sibuk menggeluti pelajaran-pelajarannya. Ketika Syarifah sudah beranjak dewasa, dia (sebagai wali mujbir) mengawinkannya dengan sahabatnya sendiri, ‘Abd Al-Wahab Bugis, sedangkan Sultan (sebagai wali hakim) juga menikahkan dengan seseorang yang bernama Usman (permasalahan ini dibahas lebih lanjut dalam pemikiran Syekh Arsyad dalam Ilmu Falak).

Sekembalinya dari tanah suci, Syekh Arsyad aktif melakukan penyebaran agama Islam di wilayah Kalimantan Selatan melalui jalur pendidikan, dakwah, tulisan dan keluarga. Dalam jalur pendidikan, dia mendirikan pondok pesantren lengkap dengan sarana dan prasarananya, termasuk sistem pertanian untuk menopang kehidupan para santrinya. Dalam jalur dakwah, dia mengadakan pengajian-pengajian umum baik untuk kalangan kelas bawah maupun kalangan istana. Dalam tulisan, dia aktif menulis kitab-kitab yang bisa dibaca hingga sekarang.

Sedangkan dalam jalur keluarga, dia melakukan dakwah dengan mengawini para wanita-wanita terhormat untuk mempermudah penyebaran Islam di masyarakat, sehingga dalam catatan sejarah, ada sebelas orang isteri dalam kehidupannya. Dia mengawini para isterinya tidak bersamaan dan tidak lebih dari empat orang dalam hidupnya, tetapi apabila salah seorang isterinya meninggal, dia menikah lagi dan begitu seterusnya. Syekh Arsyad dapat berlaku bijaksana dan adil terhadap para isterinya, sehingga mereka hidup rukun dan damai. Isteri-isteri Syekh Arsyad tersebut adalah:

1.  Bajut; melahirkan Syarifah dan Aisyah.
2.  Bidur; melahirkan Kadi H. Abu Suud, Saidah, Abu Na’im, dan Khalifah H. Syahab Al-Din.
3.  Lipur; melahirkan ‘Abd Al-Manan, H. Abu Najib, alim al-fadhil H. ‘Abd Allah, ‘Abd Al-Rahman, dan alim al-fadhil ‘Abd Al-Rahim.
4.  Guwat (keturunan Cina; Go Hwat Nio); melahirkan Asiyah, Khalifah H. Hasanuddin, Khalifah H. Zain Al-Din, Rihanah, Hafsah, dan Mufti H. Jamal Al-Din. Dalam perkawinan ini, Syekh Arsyad berusaha menyebarkan Islam di kalangan Tionghoa, dia tidak merubah nama isterinya untuk menunjukkan bahwa Islam tidak akan merubah tradisi mereka, asal tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam.
5.  Turiyah; melahirkan Nur’ain, Amah, dan Caya.
6.  Ratu Aminah; melahirkan Mufti H. Ahmad, Safia, Safura, Maimun, Salehah, Muhammad, dan Maryamah.
7.   Palung; melahirkan Salamah, Salman, dan Saliman.
8.   Kadarmik.
9.   Markidah.
10. Liyyuhi, dan
11. Dayi, keempat isteri yang terakhir ini tidak memberikan keturunan (Kadir, 1976).

Syekh Arsyad melakukan dakwah di Banjar selama kurang lebih 40 tahun. Menjelang ajalnya, dia menderita sakit lumpuh, darah tinggi, dan masuk angin dan akhirnya dia meninggal dalam usia 105 tahun (hitungan tahun Hijriyah) atau 102 tahun (hitungan tahun Masehi). Sebelum meninggal, dia sempat berwasiat agar jasadnya dikebumikan di Kalampayan apabila sungai dapat dilayari. Namun apabila tidak bisa, dia minta dikebumikan di Karang Tengah, tempat isteri pertamanya, Bajut dimakamkan. Ketika dia meninggal, air sedang surut, maka wasiat pertamanya yang dilaksanakan. Dia meninggal pada 6 Syawal 1227 H/13 Oktober 1812 M dan dimakamkan di Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan (sekitar 56 km dari Kota Madya Banjarmasin).


•    Riwayat Pendidikan

Muhammad Arsyad hidup di tengah-tengah lingkungan keluarga yang taat beragama, dan di sinilah, untuk pertama kalinya dia memperoleh pendidikan dan teladan yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Di usia yang sangat belia (sekitar umur tujuh tahun), dia telah fasih membaca al-Qur’an. Karenanya, etika Sultan Tahlil Allah, penguasa Kesultanan Banjar pada waktu itu, mengadakan kunjungan kerja ke Desa Lok Gabang, Sultan tertarik dengan kecerdasan dan keterampilan Arsyad muda (7 tahun) dan meminta kepada orang tuanya untuk dididik di lingkungan istana dan dijadikan sebagai anak angkat. Di sinilah Muhammad Arsyad memperoleh pendidikan yang lebih berkualitas dari para guru yang didatangkan Sultan ke istana (Azra, 1998 dan Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994).

Ketika Muhammad Arsyad berusia sekitar 30 tahun, Sultan Tahlil Allah mengirimkan dia ke Mekkah untuk menuntut ilmu dengan biaya istana. Dia belajar di Mekkah kurang lebih selama 30 tahun. Dalam kurun waktu yang panjang tersebut, dia tidak hanya mendalami ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, seperti geografi, biologi, matematika, geometri dan astronomi. Kecintaan dan kehausannya terhadap ilmu, mendorong Arsyad untuk belajar lagi ke Madinah kurang lebih selama lima tahun kepada imam haramain, Syekh al-Islam Muhammad b. Sulaiman Al-Kurdi, seorang mufti Madinah dan Syekh Muhammad b. ‘Abd Al-Karîm Al-Sammani Al-Madani, seorang sufi besar. Azyumardi Azra (1998) menyebutkan kemungkinan, bahwa Syekh Arsyad juga belajar kepada Ibrahim Al-Ra’is Al-Zamzami, yang darinya dia mempelajari ilmu falak (astronomi), disiplin keilmuan yang nanti menjadikannya seorang ahli yang paling menonjol di antara para ulama Indonesia.

Ketika berada di Mekkah, Arsyad belajar bersama dengan tokoh-tokoh abad ke-18 lainnya; Syekh ‘Abd Al-Samad Al-Palimbani dari Palembang (Sumatera Selatan), ‘Abd Al-Wahab Bugis (Sadanring Daeng Bunga Wardiah) dari Ujung Pandang (Sulawesi Selatan), dan Syekh ‘Abd Al-Rahman Al-Masri Al-Batawi (Jakarta). Keempat serangkai ini adalah sama-sama murid seorang sufi besar, Syekh Muhammad b. Abd Al-Karîm Al-Sammani Al-Madani dari Madinah.

Pada mulanya, empat serangkai ini bermaksud untuk melanjutkan studinya ke Mesir, tetapi oleh gurunya, Syekh Muhammad b. Sulaiman Al-Kurdi, mereka disarankan untuk pulang ke kampung halaman masing-masing. Imam Haramain tersebut menilai bahwa bekal keilmuan mereka sudah memadai untuk membina umat di daerah-daerah tempat asal mereka, sehingga mereka tidak perlu lagi melanjutkan studi ke Mesir, lagi pula umat di kampung halaman masing-masing lebih membutuhkan pembinaan dari mereka (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994). Namun, menurut Azyumardi Azra (1998) mereka memutuskan tetap pergi ke Mesir, tetapi hanya untuk berkunjung, bukan untuk melanjutkan studinya. Indikasi ini ditunjukkan dengan pemberian gelar kepada salah seorang teman Syekh Arsyad, Syekh ‘Abd Al-Rahman dari Betawi dengan gelar al-Mashri/al-Misry pada namanya.


Karir Keilmuan dan Pemikiran Syekh Arsyad

•    Bidang Fatwa

Ketika Syekh Arsyad berada di Mekkah, beberapa tahun sebelum kembali ke Indonesia, karena kedalaman ilmunya dalam bidang keagamaan, dia diberi kepercayaan oleh gurunya, Syekh Atha’ Allah, untuk mengajar dan memberikan fatwa di Masjid al-Haram, tentu saja dengan bimbingan para gurunya. Persoalan yang mengemuka di sana antara lain masalah kedaerahan Banjar yang sering dipantau oleh Syekh Arsyad melalui surat menyurat, yaitu apakah Sultan Banjar berhak menghukum orang laki-laki yang tidak melaksanakan shalat Jumat dengan denda membayar sejumlah uang kepada sultan Banjar. Permasalahan ini juga ditanyakan kepada gurunya, Syekh Muhammad b. Sulaiman Al-Kurdi, sehingga permasalahan ini dimasukkan ke dalam Kitab Fatawa karangannya (Steenbrink, 1984).

•    Bidang Ilmu Falak:

1) Kasus Arah Kiblat

Dalam perjalanan pulang dari Tanah Suci ke Indonesia, Syekh Arsyad  tidak langsung pulang ke Banjarmasin, dia singgah dulu bersama sahabatnya Syekh ‘Abd Al-Wahab Bugis beberapa bulan di rumah sahabatnya, Syekh ‘Abd Al-Rahman Al-Masri di Jakarta. Selama di Jakarta, Syekh Arsyad sempat membetulkan arah kiblat masjid-masjid yang menurut pelajaran ilmu falak yang telah dipelajari dan menurut keyakinannya tidak tepat. Masjid-masjid tersebut di antaranya adalah: Masjid Jembatan Lima, Masjid Luar Batang, dan Masjid Pekojan. Dalam mihrab Masjid Jembatan Lima yang telah dibetulkan arah kiblatnya tersebut terdapat prasasti Arab yang menunjukkan bahwa kiblat masjid ini telah diputar ke kanan sekitar 25 derajat oleh Al-Banjari (Muhammad Arsyad) pada tanggal 4 Safar 1186 H/7 Mei 1772 M (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994). Dalam masalah ini Syekh Arsyad berpendapat bahwa arah kiblat harus diperbaiki apabila arah tersebut terbukti tidak benar (Steenbrink, 1984).

2). Kasus Perkawinan

Ketika Syekh Arsyad masih berada di Mekkah, dia mendengar kabar bahwa anaknya yang bernama Syarifah dari isterinya, Bajut, sudah beranjak dewasa. Oleh karena itu dia mengawinkan anaknya tersebut dengan sahabatnya, ‘Abd Al-Wahab Bugis, dalam hal ini dia berperan sebagai wali mujbir yang mempunyai kuasa penuh untuk mengawinkan anaknya tanpa terlebih dahulu meminta ijin dari pihak anaknya.

Namun ketika Syekh Arsyad kembali ke Banjarmasin, ternyata Syarifah telah dikawinkan oleh Sultan dengan seseorang yang bernama Usman dan hubungan perkawinan ini telah melahirkan seorang anak, dalam hal ini sultan bertindak sebagai wali hakim, karena wali (ayah)nya dianggap uzur. Padahal dalam ketentuan fikih, kedua perkawinan ini dapat dianggap benar dan sah.

Untuk memutuskan permasalahan ini, Syekh Arsyad menetapkan dengan melihat masa terjadinya akad pernikahan; akad perkawinan yang lebih dahulu dilakukan, maka perkawinan tersebut yang dimenangkan. Berdasarkan keahliannya dalam bidang ilmu falak dan berdasarkan penelitiannya terhadap kedua perkawinan tersebut dengan mengaitkan perbedaan waktu antara Mekkah dan Martapura, maka dia mendapati bahwa akad perkawinan yang terjadi di Mekkah lebih dahulu beberapa saat dari pada perkawinan di Martapura. Berdasarkan penelitian ini, maka ikatan perkawinan antara Syarifah dan Usman dibatalkan, kemudian sahabatnya, Syekh ‘Abd Al-Wahab Bugis diresmikan sebagai suami Syarifah yang sah. Cerita ini dituturkan oleh Zafry Zamzam dalam Dr. Karel Steenbrink (1984).

•    Bidang Pendidikan (Pesantren) dan Pertanian

Syekh Arsyad Al-Banjari datang ke Martapura (Ibu Kota Kesultanan Banjar) pada Ramadhan 1186 H/Desember 1772 M. Langkah pertama yang dilakukan di sana bukan menikmati kehidupan di istana Banjar, tetapi dia berusaha membina kader-kader ulama, terutama para keluarga dekatnya. Untuk mensukseskan rencana ini, dia meminta sebidang tanah kepada sultan Tahmid Allah (1187-1223 H/1778-1808 M), penguasa Kesultanan Banjar pada waktu itu untuk dijadikan sebagai tempat tinggal, tempat pendidikan dan Islamic center (pusat pengembangan Islam). Sultan mengabulkan permintaan mulia dari Syekh Arsyad dengan memberikan sebidang tanah kosong yang masih berupa hutan belukar di luar ibu kota Kesultanan Banjar (Azra, 1998).

Syekh Arsyad menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yang di dalamnya terdapat rumah-rumah, tempat pengajian, perpustakaan dan asrama para santri. Semenjak itu, kampung yang baru dibuka tersebut didatangi oleh para santri yang datang dari berbagai pelosok daerah. Kampung baru ini berikutnya dikenal dengan kampung “Dalam Pagar”. Model pendidikan yang mengintegrasikan sarana dan prasana belajar dalam satu tempat yang mirip dengan model pesantren. Gagasan Syekh Arsyad ini merupakan model baru yang belum ada sebelumnya dalam sejarah Islam di Kalimantan Selatan. Selain itu di Dalam Pagar, Syekh Arsyad juga membangun sistem irigasi untuk mengairi lahan pertanian, sehingga untuk mengenang gagasannya ini, di dalam kampung Dalam Pagar ada daerah yang disebut dengan Sungai Tuan (Steenbrink, 1984).

Pesantren yang dibangun di daerah pelosok, di luar kota Martapura ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses belajar mengajar para santri; tenang, damai, akrab dan belum terkontaminasi dengan budaya-budaya perkotaan. Pesantren yang dibangun di daerah pelosok, selain berfungsi sebagai pusat keagamaan juga pusat pertanian,  karena di sana Syekh Arsyad bersama dengan beberapa guru dan murid mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah yang produktif dan kebun-kebun sayuran (Azra, 1998).

•    Bidang Dakwah

Selain menciptakan sistem pendidikan model pesantren, Syekh Arsyad juga aktif dan gigih dalam melakukan aktifitas dakwah agama kepada masyarakat umum. Dalam aktifitas berdakwah ini, dia terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat, baik masyarakat kota maupun masyarakat di kampung-kampung pelosok dan terpencil, baik kepada para keluarga sultan maupun kepada rakyat biasa. Dakwah yang dilakukan secara langsung kepada masyarakat ini disambut dengan sangat positif oleh masyarakat, sehingga masyarakat selalu berduyun-duyun menghadiri tempat-tempat dimana ada pengajian dan dakwah yang diselenggarakan oleh Syekh Arsyad untuk meramaikannya.

Kegiatan dakwah dan pengajian yang dilakukan Syekh Arsyad ini mempunyai arti penting bagi penyebaran Islam di Kalimantan Selatan. Kegiatan tersebut ikut membentuk perilaku religius masyarakat banyak. Orang-orang yang datang ke pengajian tersebut, setelah kembali ke kampungnya masing-masing menularkannya dengan memberikan pengajian kepada orang-orang awam di kampung mereka. Serentak suatu kampung mempunyai seorang tokoh yang memberikan pelajaran agama dan membuat para warga sekitarnya bergairah untuk megikutinya, karena dalam benak masyarakat telah timbul kesadaran untuk selalu menambah pengetahuan agama mereka (Daud, 1997: 521).

•    Bidang Tasawuf

Ketika belajar di Haramain, Syekh Arsyad tidak hanya mempunyai guru yang ahli dalam bidang fikih, tetapi dia juga belajar kepada guru yang ahli dalam bidang tasawuf, yaitu Syekh Muhammad b. Abd Al-Karîm Al-Sammani Al-Madani. Syekh Al-Sammani adalah seorang sufi besar yang sebelumnya masuk dalam tarekat Naqsabandiyah dan tarekat Qadiriyah, namun kemudian dia mendirikan tarekat sendiri yang diberi nama tarekat Sammaniyah. Tarekat Sammaniyah merupakan gabungan antara tarekat Naqsabandiyah dan tarekat Qadiriyah yang ditambahi dengan qasyidah dan bacaan lain karangannya sendiri (Bruinessen, 1999). Dengan keikutsertaannya dalam tarekat ini, Azumardi Azra dan Oman Fathurrahman (2002) beranggapan bahwa Syekh Arsyad adalah orang yang paling bertanggung jawab atas tersebar dan berkembangnya tarekat Sammaniyah ini di Kalimantan.

•    Bidang Kenegaraan

1) Pemberlakuan Syarî‘at Islam

Pemberlakuan Syariat Islam kepada seluruh masyarakat dan kesultanan perlu adanya kekuatan hukum yang bisa memaksakannya. Oleh karena itu, atas saran dan usulan Syekh Arsyad, dalam pemerintahan Kesultanan Banjar di berlakukan hukum Islam. Hukum Islam yang diterapkan di Kesultanan Banjar tidak hanya masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum perdata, tetapi juga menerima masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum pidana Islam; misalnya hukuman mati bagi pembunuh, hukuman potong tangan bagi pencuri, hukuman dera bagi orang yang berzina, dan hukuman mati bagi orang Islam yang keluar dari Islam (murtad) (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994).

2) Pembentukan Mahkamah Syari’ah dan Jabatan Mufti

Guna mengefektifkan pelaksanaan hukum Islam di Kesultanan Banjar dan di masyarakat, maka diperlukan adanya lembaga yang khusus mengurusi dan menampung permasalahan pemberlakuan hukum Islam tersebut. Oleh karena itu Syekh Arsyad mengajukan saran untuk dibentuk Mahkamah Syari’ah, semacam pengadilan tingkat banding untuk model sekarang, setelah sebelumnya melakukan pembenahan-pembenahan di pengadilan agama dan mungkin juga di pengadilan umum (pengadilan tingkat pertama) (Steenbrink, 1984: 94).

Mahkamah Syari’ah yang diusulkan Syekh Arsyad tersebut merupakan tempat kedudukan mufti. Mufti bertanggung jawab untuk memberlakukan hukum Islam di masyarakat dan Kesultanan Banjar dan bertugas menerima pengaduan-pengaduan dari hakim di tingkat pertama terhadap suatu kasus perkara. Mufti pertama yang diangkat oleh Sultan adalah Syekh Muhammad As’ad, cucu Syekh Arsyad; dan kadi pertama adalah Abu Zu’ud, putranya. Keduanya merupakan sebagian ulama yang dihasilkan dari model pendidikan pesantren yang didirikan dan dikembangkannya. Selama mereka memangku jabatan ini, Syekh Arsyad merupakan penasehat utama di bidang ini. Dan pada masa pemerintahan Sultan Tahmid Allah (1778-1808 M), Syekh Arsyad diangkat sebagai mustasyar Kerajaan (Mufti Besar Negara Kalimantan) untuk mendampingi sultan dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994).

•    Bidang Fiqih

1). Shalat Berjamaah

Para imam mazhab melihat masalah shalat berjamaah dari sisi formalitasnya saja; syarat sah, syarat wajib dan hukum formalnya; wajib, fardhu, fardhu kifayah, sunnah muakkad dan lain sebagainya, tetapi mereka jarang yang memfokuskan pada maqâsid al-syari‘ah dalam penetapan hukumnya. Dalam masalah shalat berjamaah Syekh Arsyad menekankan akan pentingnya syiar Islam di dalamnya. Syekh Arsyad menentukan ukuran syiar Islam dengan perbandingan wilayah. Menurut Syekh Arsyad jika suatu dusun yang kecil berpenduduk 30 orang laki-laki, maka wajar mereka mendirikan shalat jamaah di satu tempat. Akan tetapi apabila mereka mendiami suatu wilayah yang luas, maka tidak cukup mendirikan shalat jamaah di satu tempat. Bahkan kalau suatu penduduk kampung bersepakat untuk melaksanakan shalat berjamaah di rumah masing-masing atau di tempat yang tertutup, maka tindakan ini, menurut Syekh Arsyad belum menggugurkan hukum shalat berjamaah yang fardhu kifayah.


2) Zakat

Pendapat lebih maju yang dikemukakan oleh Syekh Arsyad dalam masalah zakat ini adalah pada sisi pendayagunaan zakat. Dia berpendapat bahwa pendistribusian zakat harus lebih diorientasikan kepada pembebasan kemiskinan yang melanda masyarakat, sehingga mustahiq zakat yang utama adalah fakir miskin. Tidak sepantasnya zakat digunakan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif (habis seketika), tetapi harus dimanfaatkan kepada hal-hal yang bersifat produkif, sehingga mustahiq zakat bisa memanfaatkan secara berkesinambungan. Pemanfaatan zakat secara konsumtif ini tidak bisa mengangkat harkat dan martabat orang-orang fakir miskin dan tidak bisa menghapus kemiskinan yang menjadi tujuan pendistribusian zakat.

Pendistribusian zakat kepada orang-orang fakir dan miskin yang bersifat produktif ini, menurut Syekh Arsyad harus diatur dan mendapat persetujuan sultan (imam) agar distribusinya dapat terkoordinir dengan baik. Dalam rangka menciptakan efektifitas pendistribusian zakat agar tidak tumpang tindih, maka Syekh Arsyad mengajukan struktur amil zakat dan tugasnya masing-masing, mereka adalah:
01. Sâ’i; orang yang diangkat sultan atau wakilnya untuk memungut harta zakat. Syarat menjadi sa’i adalah ahli dalam bidang tersebut, muslim, berakal, baligh, merdeka, jujur dan mendengar lagi melihat.
02. Kâtib; orang yang bertugas mencatat harta zakat yang diterima dari para muzakki.
03. Qâsim; orang yang bertugas membagi-bagikan harta zakat.
04. Hâsyir; orang yang bertugas mengumpulkan para muzakki.
05. آrif ; orang yang mengenal kondisi para mustahiq zakat.
06. Hâsib; orang yang bertugas menghitung harta zakat.
07. Jundiy; pihak keamanan  yang bertugas mengamankan harta zakat.
08. Hâfidz; orang yang bertugas memelihara dan menjaga harta zakat.
09. Jâbi’; orang yang bertugas menyuruh orang untuk mengeluarkan zakat.
10. Dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan setempat (al-Banjari, t.th).

3) Penguburan Mayat

Dalam penguburan mayat, Syekh Arsyad sependapat dengan Syekh Abu Zakaria Al-Anshari bahwa ukuran minimal kuburan mayat adalah apabila dapat mencegah keluarnya bau busuk dan dapat mencegah dari gangguan binatang buas. Namun dalam hal ini, Syekh Arsyad lebih menekankan perlu adanya penggalian tanah untuk kuburan tersebut, sehingga dia tidak membenarkan apabila mayat hanya diletakkan di atas tanah kemudian ditimbun tanah, meskipun hal itu sudah menghindarkan dari bau busuk dan dari gangguan binatang buas. Dan mayat tidak boleh dikuburkan pada tempat yang biasanya menjadi sasaran binatang buas.

Demi lebih menjamin keamanan dari gangguan binatang buas atau dari penyebaran bau busuk, maka Syekh Arsyad mewajibkan memasukkan mayat dalam tabala keranda (peti mati), meskipun di kalangan ulama mazhab ada perbedaan pendapat dalam masalah ini; Ulama Hanafi membolehkan, ulama Maliki melarang, Ulama Syafi’i memakruhkan dan ulama Hambali mensunahkan. Pendapat Syekh Arsyad ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh kondisi geografis daerah Banjar yang berupa rawa-rawa dan masih banyaknya binatang buas. Dalam masalah ini, sebenarnya dia sependapat dengan ulama Syafi’i, yaitu memakruhkan apabila penggunaan peti mati tidak diperlukan, namun di sisi lain, dia mewajibkan ketika kondisi menutut penggunaannya.

Kedalaman kuburan yang ideal yang tidak bisa menebarkan bau busuk dan menghindarkan dari gangguan binatang buas, menurut Syekh Arsyad adalah “setumbang berdiri dan setengah hasta dengan perdirian dan hasta yang pertengahan”. Dengan kedalaman kuburan yang memenuhi syarat adalah setinggi ukuran manusia normal ditambah satu hasta atau kurang lebih dua meter.

Dalam masalah penguburan mayat, Syekh Arsyad juga memperbolehkan menempatkan dua mayat dalam satu lobang, tanpa mengurangi penghormatan dan penghargaan terhadap mayat, dengan syarat tidak bercampur antara mayat laki-laki dan perempuan. Dan mayat yang baru meninggal diperbolehkan dikubur di atas mayat lama dengan syarat mayat lama tersebut sudah benar-benar hancur, tanpa mengurangi penghormatan dan penghargaan terhadap mayat yang lama (Al-Banjari, t.th).

Karya-Karya Syekh Arsyad Al-Banjari

Guna mendukung dan memperkuat penyebaran dan pendidikan Islam di nusantara, khususnya di Kalimantan Selatan, Syekh Arsyad aktif menuangkan pemikiran-pemikirannya dalam kitab-kitab yang bisa dibaca oleh para generasi berikutnya. Karya terbesar Syekh Arsyad adalah kitab Sabîl al-Muhtadîn (Jalan Orang-Orang yang Mendapatkan Petunjuk). Kitab yang ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu tulisan Arab ini merupakan kitab fikih Mazhab Syafi’i. Kitab ini merupakan kitab yang dipesan oleh Sultan Tahmid Allah, ditulis mulai tahun 1193 H/1779 M hingga 1195 H/1781 M, terdiri dari dua jilid yang masing-masing berisi 500 halaman (Burhanuddin, 2002; Pijper, 1987).

Kitab-kitab fikih lainnya adalah Luqthah al-Ajlân, Kitâb al-Nikâh (Buku Nikah), Kitâb al-Farâidl (Buku Pembagian Harta Warisan) dan Hâsiyah Fath al-Jawâd (Komentar terhadap Buku Pembukaan Kemurahan Hati). Kitab-kitabnya dalam bidang tauhid, di antaranya: Ushûl al-Dîn (Dasar-Dasar Agama), Tuhfah al-Râghibîn fî Bayân Haqîqah Imâm al-Mu’minîn wa Mâ Yufsiduh min Riddah al-Murtaddîn (Hadiah Bagi Para Pencinta dalam Menjelaskan Hakikat Imam Para Mukmin dan Apa yang Merusaknya; Kemurtadan Orang-Orang Murtad), Qaul al-Mukhtashar fî ‘Alâmah al-Mahd al-Muntadzar (Pembicaraan Singkat tentang Tanda Imam Mahdi yang Ditunggu), dan Tarjamah Fath al-Rahmân (Terjemahan Buku Fath al-Rahmân). Sedangkan kitabnya dalam bidang tasawuf adalah Kanz al-Ma’rifah (Gudang Pengetahuan). Di samping itu, dia juga menulis Mushaf al-Qur’an dengan tulisan tangan Syekh Arsyad dalam ukuran besar yang hingga sekarang masih dipajang di dekat makamnya.
Menurut riwayat, Khalifah al Sayyid Muhammad al Samman di Indonesia pada masa itu, hanya empat orang, yaitu Syekh Muh. Arsyad al Banjari, Syekh Abd. Shomad al Palembani (Palembang), Syekh Abd. Wahab Bugis dan Syekh Abd. Rahman Mesri (Betawi). Mereka berempat dikenal dengan “Empat Serangkai dari Tanah Jawi” yang sama-sama menuntut ilmu di al Haramain al Syarifain.
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan kampung halaman. Terbayang di pelupuk mata indahnya tepian mandi yang diarak barisan pepohonan aren yang menjulang. Terngiang kicauan burung pipit di pematang dan desiran angin membelai hijaunya rumput. Terkenang akan kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti tanpa tahu sampai kapan penentiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muh. Arsyad di kampung halamannya Martapura pusat Kerajaan Banjar pada masa itu.

Akan tetapi, Sultan Tahlilullah seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan HW, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.

Sultan Tamjidillah menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama “Matahari Agama” yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultanpun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’.
Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya dalam terjemahan bebas adalah “Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama”. Syekh Muhammad Arsyad telah menulis untuk keperluan pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, diantaranya ialah:
  1. Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Duapuluh,
  2. Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat,
  3. Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,
  4. Kitabul Fara-idl, semacam hukum-perdata.
Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-muridnya kemudian dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang berhubungan dengan itu, dan untuk mana biasa disebut Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, ia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.
Setelah ± 40 tahun mengembangkan dan menyiarkan Islam di wilayah Kerajaan Banjar, akhirnya pada hari selasa, 6 Syawwal 1227 H (1812 M) Allah SWT memanggil Syekh Muh. Arsyad ke hadirat-Nya. Usia beliau 105 tahun dan dimakamkan di desa Kalampayan, sehingga beliau juga dikenal dengan sebutan Datuk Kalampayan.

Tuan Guru Sekumpul Syekhuna Al Alim Al Alamah Zaini Ghany Al Martapura.:


Syeikhuna al-Alim al-Allamah Muhammad Zaini bin al-Arif billah Abdul Ghani bin Abdul Manaf bin Muhammad Seman bin Muhammad Sa'ad bin Abdullah bin al-Mufti Muhammad Khalid bin al-Alim al-Allamah al-Khalifah Hasanuddin bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari.

Tuan Guru Sekumpul Syekhuna Al Almaha Zaini Ghany Al Martapura.:

Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syekh H. Muhammad Zaini Abdul Ghani bin Al ‘arif Billah Abdul Ghani bin H. Abdul Manaf bin Muhammad Seman bin H. M. Sa’ad bin H. Abdullah bin ‘Alimul ‘allamah Mufti H. M. Khalid bin ‘Alimul ‘allamah Khalifah H. Hasanuddin bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Guru Sekumpul), dilahirkan pada, malam Rabu 25 Muharram 1361 H (11 Februari 1942 M). 

Nama kecil beliau adalah Qusyairi. Sejak kecil beliau sudah termasuk dari salah seorang yang mahfuzh, yaitu suatu keadaan yang sangat jarang sekali terjadi, kecuali bagi orang-orang yang sudah dipilih oleh Allah SWT.
Beliau adalah salah seorang anak yang mempunyai sifat-sifat dan pembawaan yang lain daripada anak-anak yang lainnya. 

‘Alimul ‘allamah Al Arif Billah Asy-Syekh H. Muhammad Zaini Abdul Ghani sejak kecil selalu berada di samping kedua orang tua dan nenek beliau yang benama Salbiyah. Beliau dididik dengan penuh kasih sayang dan disiplin dalam pendidikan, sehingga di masa kanak-kanak beliau sudah mulai ditanamkan pendidikan Tauhid dan Akhlaq oleh ayah dan nenek beliau. Beliau belajar membaca Alquran dengan nenek beliau. Dengan demikian guru pertama dalam bidang ilmu Tauhid dan Akhlaq adalah ayah dan nenek beliau sendiri.
Meskipun kehidupan kedua orang tua beliau dalam keadaan ekonomi yang sederhana, namun mereka selalu memperhatikan untuk turut membantu dan meringankan beban guru yang mengajar anak mereka membaca Alquran, sehingga setiap malamnya beliau selalu membawa bekal botol kecil yang berisi minyak tanah untuk diberikan kepada guru yang mengajar Alquran. Dalam usia kurang lebih 7 tahun beliau sudah mulai belajar di madrasah (pesantren) Darussalam Martapura.

Guru-guru ‘Alimul’allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syekh H. M. Zaini Abdul Ghani, antara lain adalah:

1. Di tingkat Ibtida adalah: Guru Abdul Mu’az, Guru Sulaiman, Guru Muh. Zein, Guru H. Abdul. Hamid Husin, Guru H. Mahalli, Guru H. Rafi’i, Guru Syahran, Guru H. Husin Dakhlan, Guru H. Salman Yusuf

2. Di tingkat Tsanawiyah adalah: ‘Alimul Fadhil H. Sya’rani’Arif, ‘Alimul Fadhil H, Husin Qadri, ‘Alimul Fadhil H. Salilm Ma’ruf, ‘Alimul Fadhil H. Seman Mulya, ‘Alimul Fadhil H. Salman Jalil.

3. Guru di bidang Tajwid ialah: ‘Alimul Fadhil H. Sya’rani ‘Arif, ‘Alimul Fadhil Al Hafizh H. Nashrun Thahir, ‘Al-Alim H. Aini Kandangan.

4. Guru Khusus adalah: ‘Alimul’allamah H. Muhammad Syarwani Abdan Bangil, ‘Alimul’allamah Asy Syekh As Sayyid Muhammad Amin Qutby. Sanad sanad dalam berbagai bidang ilmu dan Thariqat, antara lain diterima dari:
Kyai Falak Bogor (Abah Falak), ‘Alimul’allamah Asy-Syekh Muhammad Yasin Padang (Mekkah), ‘Alimul’allamah Asy-Syekh Hasan Masysyath, ‘Alimul’allamah Asy- Syekh Isma’il Yamani dan ‘Alimul’allamah Asy-Syekh Abdul Qadir Al-Baar.

5. Guru pertama secara Ruhani ialah: ‘Alimul ‘allamah Ali Junaidi (Berau) bin ‘Alimul Fadhil Qadhi H. Muhammad Amin bin ‘Alimul ‘allamah Mufti H. Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad, dan ‘Alimul ‘allamah H. Muhammad Syarwani Abdan (Bangil). Kemudian ‘Alimullailamah H. Muhammad Syarwani Abdan menyerahkan kepada Kyai Falak Bogor dan seterusnya Kyai Falak menyerahkan kepada ‘Alimul’allamah Asy-Syekh As-Sayyid Muhammad Amin Qutby, kemudian beliau menyerahkan kepada Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang selanjutnya langsung dipimpin oleh Rasulullah Saw. Atas petunjuk ‘Alimul’allamah Ali Junaidi, beliau dianjurkan untuk belajar kepada ‘Alimul Fadhil H. Muhammad (Gadung Rantau) bin ‘Alimul Fadhil H. Salman Farisi bin ‘Allimul’allamah Qadhi H. Mahmud bin Asiah binti Syekh Muhammad Arsyad, untuk mengenal masalah Nur Muhammad; maka dengan demikian di antara guru beliau tentang Nur Muhammad antara lain adalah ‘Alimul Fadhil H. M. Muhammad tersebut di atas.

Dalam usia kurang lebih 10 tahun, sudah mendapat khususiat dan anugerah dari Tuhan berupa Kasyaf Hissi yaitu melihat dan mendengar apa-apa yang ada di dalam atau yang terdinding. Dan dalam usia itu pula beliau didatangi oleh seseorang bekas pemberontak yang sangat ditakuti masyarakat akan kejahatan dan kekejamannya. Kedatangan orang tersebut tentunya sangat mengejutkan keluarga di rumah beliau. Namun apa yang terjadi, laki-laki tersebut ternyata ketika melihat beliau langsung sungkem dan minta ampun serta memohon untuk dikontrol atau diperiksakan ilmunya yang telah ia amalkan, jika salah atau sesat minta dibetulkan dan diapun minta agar supaya ditobatkan.

Mendengar hal yang demikian beliau lalu masuk serta memberitahukan masalah orang tersebut kepada ayah dan keluarga, di dalam rumah, sepeninggal beliau masuk kedalam ternyata tamu tersebut tertidur. Setelah dia terjaga dari tidurnya maka diapun lalu diberi makan dan sementara tamu itu makan, beliau menemui ayah beliau dan menerangkan maksud dan tujuan kedatangan tamu tersebut. Maka kata ayah beliau tanyakan kepadanya apa saja ilmu yang dikajinya. Setelah selesai makan lalu beliau menanyakan kepada tamu tersebut sebagaimana yang dimaksud oleh ayah beliau dan jawabannva langsung beliau sampaikan kepada ayah beliau. Kemudian kata ayah beliau tanyakan apa lagi, maka jawabannyapun disampaikan beliau pula. Dan kata ayah beliau apa lagi, maka setelah berulang kali di tanyakan apa lagi ilmu yang ia miiki maka pada akhirnya ketika beliau hendak menyampaikan kepada tamu tersebut, maka tamu tersebut tatkala melihat beliau mendekat kepadanya langsung gemetar badannya dan menangis seraya minta tolong ditobatkan dengan harapan Tuhan mengampuni dosa-dosanya.

Pernah rumput-rumputan memberi salam kepada beliau dan menyebutkan manfaatnya untuk pengobatan dari beberapa penyakit, begitu pula batu-batuan dan besi. Namun kesemuanya itu tidaklah beliau perhatikan dan hal-hal yang demikian itu beliau anggap hanya merupakan ujian dan cobaan semata dari Allah SWT.

Dalam usia 14 tahun, atau tepatnya masih duduk di Kelas Satu Tsanawiyah, beliau telah dibukakan oleh Allah Swt atau futuh, tatkala membaca ayat:Wakanallahu syami’ul bashiir.
‘Alimul’allamah Al-’Arif Billah Asy-Syekh H. M. Zaini Abdul Ghani, sejak kecilnya hidup di tengah keluarga yang shalih, maka sifat-sifat sabar, ridha, kitmanul mashaib, kasih sayang, pemurah dan tidak pemarah sudah tertanam dan tumbuh subur di jiwa beliau; sehingga apapun yang terjadi terhadap diri beliau tidak pernah mengeluh dan mengadu kepada orang tua, sekalipun beliau pernah dipukuli oleh orang-orang yang hasud dan dengki kepadanya. Beliau adalah seorang yang sangat mencintai para ulama dan orang orang yang shalih, hal ini tampak ketika beliau masih kecil, beliau selalu menunggu tempat tempat yang biasanya ‘Alimul Fadhil H. Zainal Ilmi lewati pada hari-hari tertentu ketika hendak pergi ke Banjarmasin semata-mata hanya untuk bersalaman dan mencium tangan tuan Guru H. Zainal Ilmi. 

Di masa remaja ‘Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syekh H. M Zaini Abdul Ghani pernah bertemu dalam rukyah (mimpi) dengan Saiyidina Hasan dan Saiyidina Husien (cucu Nabi Saw) yang keduanva masing-masing membawakan pakaian dan memasangkan kepada beliau lengkap dengan sorban dari lainnya. Dan beliau ketika itu diberi nama oleh keduanya dengan nama Zainal ‘Abidin. Setelah dewasa, maka tampaklah kebesaran dan keutamaan beliau dalam berbagai hal dan banyak pula orang yang belajar. Para Habaib yang tua-tua, para ulama dan guru-guru yang pernah mengajari beliau, karena mereka mengetahui keadaan beliau yang sebenarnya dan sangat sayang serta hormat kepada beliau. 
‘Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syekh H. M. Zaini Abdul Ghani adalah seorang ulama yang menghimpun antara wasiat, thariqat dari haqiqat, dan beliau seorang yang hafazh Alquran beserta hafazh tafsirnya, yaitu tafsir Alquran Al-’Azhim lil-Imamain Al-Jalalain. Beliau seorang ulama yang masih termasuk keturunan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan menghidupkan kembali ilmu dan amalan-amalan serta thariqat yang diamalkan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Karena itu majelis pengajian beliau, baik majelis ta’lim maupun majelis ‘amaliyahnya di Komplek Raudah Sekumpul seperti majelis Syekh Abdul Kadir al-Jailani.
Sifat lemah lembut, kasih sayang, ramah tamah, sabar, dan pemurah sangatlah tampak pada diri beliau, sehingga beliau dikasihi dan disayangi oleh segenap lapisan masyarakat, sahabat dan anak murid. Kalau ada orang yang tidak senang melihat akan keadaan beliau dan menyerang dengan berbagai kritikan dan hasutan maka beliaupun tidak pernah membalasnya. Beliau hanya diam dan tidak ada reaksi apapun, karena beliau anggap mereka itu belum mengerti, bahkan tidak mengetahui serta tidak mau bertanya.
Tamu-tamu yang datang ke rumah beliau, pada umumnya selalu beliau berikan jamuan makan, apalagi pada hari-hari pengajian, seluruh murid murid yang mengikuti pengajian yang tidak kurang dari 3.000-an, kesemuanya diberikan jamuan makan.

Sedangkan pada hari hari lainnya diberikan jamuan minuman dan roti.
Beliau adalah orang yang mempunyai prinsip dalam berjihad yang benar-benar mencerminkan apa apa yang terkandung dalam Alquran, misalnya beliau akan menghadiri suatu majelis yang sifatnya dakwah Islamiyah, atau membesarkan dan memuliakan syi’ar agama Islam. Sebelum beliau pergi ke tempat tersebut lebih dulu beliau turut menyumbangkan harta beliau untuk pelaksanaannya, kemudian baru beliau datang. Jadi benar-benar beliau berjihad dengan harta lebih dahulu, kemudian dengan anggota badan. Dengan demikian beliau benar-benar mengamalkan kandungan ayat Alquran yang berbunyi: Wajaahiduu bi’amwaaliku waanfusikum fii syabilillah. 
‘Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syekh H. M. Zaini Abdul Ghani adalah satu-satunya Ulama di Kalimantan, bahkan di Indonesia yang mendapat izin untuk mengijazahkan (bai’at) thariqat Sammaniyah, karena itu banyaklah yang datang kepada beliau untuk mengambil bai’at thariqat tersebut, bukan saja dari Kalimantan, bahkan dari pulau Jawa dan daerah lainnya. 
‘Alimul’allamah Al ‘Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abdul Ghani dalam mengajar dan membimbing umat tidak mengenal lelah dan sakit. Meskipun dalam keadaan kurang sehat, selama masih mampu, beliau masih tetap mengajar dan memberi pengajian. 
Dalam membina kesehatan para peserta pengajian dalam waktu-waktu tertentu beliau datangkan dokter spesialis untuk memberiikan penyuluhan kesehatan sebelum pengajian dimulai, seperti dokter spesialis jantung, paru paru, THT, mata, ginjal, penyakit dalam, serta dokter ahli penyakit menular dan lainnya. Dengan demikian beliau sangatlah memperhatikan kesehatan para peserta pengajian dan kesehatan lingkungan tempat pengajian. 

Berbagai karomah (kelebihan) telah diberikan oleh Allah kepada beliau. Ketika beliau masih tinggal di Kampung Keraton (Martapura), biasanya setelah selesai pembacaan maulid, beliau duduk-duduk dengan beberapa orang yang masih belum pulang sambil bercerita tentang orang orang tua dulu yang isi cerita itu untuk dapat diambil pelajaran dalam meningkatkan amaliyah. 

Tiba tiba beliau bercerita tentang buah rambutan, pada waktu itu masih belum musimnya; dengan tidak disadari dan diketaui oleh mereka yang hadir beliau mengacungkan tangannya kebelakang dan ternyata di tangan beliau terdapat sebiji buah rambutan yang masak, maka heranlah semua yang hadir melihat kejadian akan hal tersebut. Dan rambutan itupun langsung beliau makan. 

Ketika beliau sedang menghadiri selamatan dan disuguhi jamuan oleh shahibul bait (tuan rumah) maka tampak ketika, itu makanan, tersebut hampir habis beliau makan, namun setelah piring tempat makanan itu diterima kembali oleh yang melayani beliau, sesudah dilihat, ternyata makanan yang tampak habis itu masih banyak bersisa dan seakan-akan tidak pernah dimakan oleh beliau. 
Pada suatu musim kemarau yang panjang, di mana hujan sudah lama tidak turun sehingga sumur-sumur sudah hampir mengering, maka cemaslah masyarakat ketika itu dan mengharap agar hujan bisa segera turun. Melihat hal yang demikian banyak orang yang datang kepada beliau mohon minta doa beliau agar hujan segera turun, kemudian beliau lalu keluar rumah dan menuju pohon pisang yang masih berada di dekat rumah beliau waktu itu, maka beliau goyang-goyangkanlah pohon pisang tersebut dan ternyata tidak lama kemudian, hujanpun turun dengan derasnya. 

Ketika pelaksanaan Haul Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang ke 189 di Dalam pagar Martapura, kebetulan pada masa itu sedang musim hujan sehingga membanjiri jalanan yang akan dilalui oleh ‘Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syeikh H. M. Zaini Abdul Ghani menuju ke tempat pelaksanaan haul tersebut. Keadaan itu sempat mencemaskan panitia pelaksana haul tersebut, namun dan tidak disangka sejak pagi harinya jalanan yang akan dilalui oleh beliau yang masih digenangi air sudah kering, sehingga dengan mudahnya beliau dan rombongan melewati jalanan tersebut; dan setelah keesokan harinya jalanan itupun kembali digenangi air sampai beberapa hari kemudian. 

Banyak orang orang yang menderita sakit seperti sakit ginjal, usus yang membusuk, anak yang tertelan peniti, ibu yang sedang hamil dan bayinya jungkir (sungsang) serta meninggal dalam kandungan, di mana semua kasus ini menurut keterangan dokter harus dioperasi. Namun keluarga sisakit kemudian pergi minta didoakan oleh ‘Allimul’allamah ‘Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abdul Ghani. Dengan air yang beliau berikan kesemuanya dapat tertolong dan sembuh tanpa dioperasi. 

Demikianlah di antara karamah dan kekuasaan Tuhan yang ditunjukkan kepada diri seorang hamba yang dikasihi-Nya.

Sebelum wafat, Tuan Guru H.M. Zaini Abdul Ghani telah menulis beberapa buah kitab, antara lain: 
  • Risalah Mubaraqah.
  • Manaqib Asy-Syekh As-Sayyid Muharnmad bin Abdul Karim Al-Qadiri Al-Hasani As-Samman Al-Madani.
  • Ar-Risalatun Nuraniyah fi Syarhit Tawassulatis Sammaniyah.
  • Nubdzatun fi Manaqibil Imamil Masyhur bil Ustadzil a’zham Muhammad bin Ali Ba’alawy. 
Beliau juga sempat memberikan beberapa pesan kepada seluruh masyarakat Islam, yakni:

1. Menghormati ulama dan orang tua
2. Baik sangka terhadap muslimin
3. Murah hati
4. Murah harta
5. Manis muka
6. Jangan menyakiti orang lain
7. Mengampunkan kesalahan orang lain
8. Jangan bermusuh-musuhan
9. Jangan tamak atau serakah
10.Berpegang kepada Allah, pada kabul segala hajat
11.Yakin keselamatan itu pada kebenaran. 

Beliau pernah berkata :
"Kalau ada orang mengaku sendiri punya karamah tapi shalatnya tidak karuan, maka itu bukan karamah, tapi "bakarmi" (orang yang keluar sesuatu dari duburnya)".

Selain sebagai ulama yang ramah dan kasih sayang kepada setiap orang, beliau juga orang yang tegas dan tidak segan-segan kepada penguasa apabila menyimpang. Karena itu, beliau menolak undangan Soeharto untuk mengikuti acara halal bil halal di Jakarta. Begitu juga dalam pengajian-pengajian, tidak kurang-kurangnya beliau menyampaikan kritikan dan teguran kepada penguasa baik Gubernur, Bupati atau jajaran lainnya dalam suatu masalah yang beliau anggap menyimpang atau tidak tepat.

Beberapa tahun yang lalu tepatnya, Rabu 10 Agustus 2005 jam 05.10 pagi beliau telah berpulang ke rahmatullah pada usia 63 tahun. Dulu almarhum Guru Ayan (Rantau), salah seorang syaikh yang dikenal kasyaf pernah menyampaikan bahwa kehidupan Syaikh M. Zaini Ghani itu seperti Nabi. Bahkan usia beliau pun sama seperti usia Nabi. Salah seorang murid dekat Guru Ayan, yaitu M. Yunus (kaka kelas saya di PP. Alfalah) pernah mencoba melihat-lihat ciri-ciri hissiyahnya. Setelah sempat dirawat selama lebih kurang 10 hari di rumah sakit Mount Elizabeth Singapura, karena penyakit ginjal yang beliau derita, pada hari Rabu, 5 Rajab 1426 H bertepatan dengan 10 Agustus 2005, beliau pun kembali menghadap Allah SWT. Innalillahi wa Inna Ilaihi Raaji’un, telah diangkat oleh Allah SWT ilmu melalui kewafatan seorang ulama.

Seluruh masyarakat Kalimantan merasa kehilangan seorang Tuan Guru yang menjadi panutan, penerang, dan penyuluh kehidupan umat. Kini umat Islam di Martapura dan Kalimantan Selatan umumnya, menantikan kembali, hadirnya generasi baru –ulama panutan– yang akan menggantikan atau paling tidak memiliki kharisma dan ilmu sebagaimana yang dimiliki oleh Guru Sekumpul. Salah satu pesan beliau tentang karamah adalah agar kita jangan sampai tertipu dengan segala keanehan dan keunikan. Karena bagaimanapun juga karamah adalah anugrah, murni pemberian, bukan suatu keahlian atau skill. Karena itu jangan pernah berpikir atau berniat untuk mendapatkan karamah dengan melakukan ibadah atau wiridan-wiridan. Dan karamah yang paling mulia dan tinggi nilainya adalah istiqamah di jalan Allah itu sendiri.

Salah satu yang menjadi sorotannya adalah kepindahan Beliau dari Keraton Martapura ke wilayah Sekumpul seperti Rasulullah s.a.w. hijrah (dan beberapa hal lainnya). Dan sekarang, ucapan tersebut terbukti. Pada usia 9 tahun pas malam jum'at beliau bermimpi melihat sebuah kapal besar turun dari langit. Di depan pintu kapal berdiri seorang penjaga dengan jubah putih dan di gaun pintu masuk kapal tertulis "Sapinah al-Auliya". Beliau ingin masuk, tapi dihalau oleh penjaga hingga tersungkur. Beliaupun terbangun. Pada malam jum'at berikutnya, beliau kembali bermimpi hal serupa. Dan pada malam jum'at ketiga, beliau kembali bermimpi serupa. Tapi kali ini beliau dipersilahkan masuk dan disambut oleh salah seorang syaikh. Ketika sudah masuk,beliau melihat masih banyak kursi yang kosong.

Ketika beliau merantau ke tanah Jawa untuk mencari ilmu, tak disangka tak dikira orang yang pertama kali menyambut beliau dan menjadi guru adalah orang yang menyambut beliau dalam mimpi tersebut. Wallahu A'lam.

Cari Blog Ini

KIRIMKAN SMS ANDA LEWAT BLOG KAMI GRATIS.:

يس

free counters