Syekh
Kholil wafat pada hari kamis tanggal 29 Ramadhan 1343 H (1925 M) jam 04
pagi. Jenazah beliau dishalati di Masjid Agung Bangkalan pada sore
harinya setelah shalat ashar, kemudian dimakamkan di Pemakaman
Martajasah, Bangkalan.
Syekh Kholil banyak meninggalkan “warisan” yang bermanfaat untuk ummat. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Pesantren Jangkibuan. Pesantren ini terus aktif sampai kini dan diasuh
oleh keurunan Nyai Khotimah bin Kholil dengan Kiai Thoha. Pesantren ini
diberi nama “Pesantren Al-Muntaha Al-Kholili”.
2. Pesantren
Kademangan. Sepeninggal Syekh Kholil, pesantren ini diasuh oleh
keturunan beliau sendiri. Saya mendapatkan tiga nama urutan pengasuh
Pesantren Kedemangan, yaitu Kiai Abdul Fattah bin Nyai Aminah binti Nyai
Muthmainnah binti Imron bin Kholil, kemudian Kiai Fakhrur Rozi bin Nyai
Romlah binti Imron bin Kholil, kemudian Kiai Abdullah Sachal bin Nyai
Romlah binti Imron bin Kholil. Sampai kini (2007) Pesantren Kademangan
diasuh oleh Kiai Abdullah Sachal.
3. Kitab “As-Silah fi
Bayanin-nikah”. Sebuah kitab tentang pernikahan, meliputi segi hukum dan
adab. Dicetak oleh Maktabah Nabhan bin Salim Surabaya.
4.
Rangkaian Shalawat. Dihimpun oleh KH. Muhammad Kholid dalam kitab
“I’anatur Roqibin” dan dicetak oleh Pesantren Roudlotul Ulum, Sumber
Wringin, Jember. Jawa Timur.
5. Dzikir dan wirid. Dihimpun oleh KH. Mushthofa Bisri, Rembang, Jawa Tengah, dalam sebuah kitab berjudul “Al-Haqibah”. [*]
KAROMAH SYEKH KHOLIL
Pada
bab III, buku “Surat Kepada Anjing Hitam” menceritakan 29 cerita
karomah Syekh Kholil, namun saya kutib yang 16 saja. Dalam buku itu
ditulis:
Pengertian Karomah
Istilah karomah berasal dari
bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia[1]. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia yang mengistilahkan karomah dengan keramat diartikan suci dan
dapat mengadakan sesuatu diluar kemampuan manusia biasa karena
ketaqwaanya kepada Tuhan. [Dept. P&K, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka Jakarta, halaman 483]
Ajaran Islam[2] memaksudkan
sebagai “Khariqun lil adat”[3], yaitu kejadian yang luar biasa pada
seorang wali Allah. Syaikh Thohir bin Sholeh Al-Jazairi mengartikan kata
karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang
tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi. [Thohir bin Sholeh
Al-Jazairi, Jawahirul Kalamiyah, terjemahan Jakfar Amir, Penerbit Raja
Murah Pekalongan, hal. 40]
Sedangkan, Imam Qusyairi menjelaskan
karomah sebagai penampakan karomah merupakan tanda-tanda kebenaran sikap
dan kelakuan seseorang. Barangsiapa yang tidak benar sikap dan
kelakuannya, maka tidak dapat menunjukkan kekaromahannya. Dan Allah yang
maha Qodim memberi tahu kepada kita agar membedakan orang yang benar
dan mana yang batil. [Abul Qosim Abdul Karim Hawazim Qusyairi Naisabury,
Risaltul Qusyairiyah, Darul Khoir, halaman 353]
Dengan demikian,
istilah karomah dapat disimpulkan sebagai kejadian yang luar biasa pada
seseorang yang merupakan anugerah dari Allah dikarenakan
ketaqwaanya.[4]
1. PENCURI TIMUN TIDAK BISA DUDUK
Diantara
karomahnya adalah pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan
sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri
maling. Begitu peristiwa itu terus menerus. Akhirnya petani timun itu
tidak sabar lagi, setelah bermusuyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke
Kiai Kholil. Sesampainya di rumah Kiai Kholil, sebagaimana biasanya
Kiai sedang mengajarkan kitab nahwu[5]. Kitab tersebut bernama Jurmiyah,
suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.
“Assalamu’alaikum, Kiai,” ucap salam para petani serentak.
“Wa’alaikum salam, “ Jawab Kiai Kholil.
Melihat banyaknya petani yang datang. Kiai bertanya :
“Sampean ada keperluan, ya?”
“Benar,
Kiai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami
mohon kepada Kiai penangkalnya.” Kata petani dengan nada memohon penuh
harap.
Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kiai kebetulan sampai
pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta
merta Kiai Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”.
“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai penangkal.” Seru Kiai dengan tegas dan mantap.
“Sudah, pak Kiai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda Tanya.
“Ya
sudah.” Jawab Kiai Kholil menandaskan. Mereka puas mendapatkan
penangkal dari Kiai Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka
masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Kiai Kholil.
Keesokan
harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah
masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di
hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus menerus tidak bisa
duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela
diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin
melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan,
namun hasilnya sis-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat
pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.
Satu-satunya
jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani
untuk sowan ke Kiai Kholil lagi. Tiba di kediaman Kiai Kholil, utusan
itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang
sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri
itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang
selama ini menjadi sasaran empuk pencurian. Maka sejak saat itu, petani
timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima
kasih kepada Kiai kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu
timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para
santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh
pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.[6]
2. DIDATANGI MACAN
Diantara
karomahnya, pada suatu hari di bulan Syawal. Kiai Kholil tiba-tiba
memanggil santri-santrinya. “Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus
memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa
dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok kita ini.” Kata
Kiai Kholil agak serius.
Mendengar tutur guru yang sangat
dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah
timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker.
Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang
ditungu-tunggu itu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah
ke pesantren pemuda kurus, tidak berapa tinggi berkulit kuning langsat
sambil menenteng kopor seng. Sesampainya di depan pintu rumah Kiai
Kholil, lalu mengucap salam “Assalamu ‘alaikum,” ucapnya agak pelan dan
sangat sopan.
Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang
diterima, tetapi Kiai malah berteriak memanggil santrinya, “Hey santri
semua, ada macan.. macan.., ayo kita kepung. Jangan sampai masuk ke
pondok.” Seru Kiai Kholil bak seorang komandan di medan perang.
Mendengar
teriakan Kiai kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil
membawa apa yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk mengepung
pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak
ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin
nyantri ke Kiai Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba
untuk datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung
disongsong dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya.
Baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki
pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu,
yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah
kentongan surau.
Secara tidak diduga, tengah malam Kiai Kholil
datang dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan.
Pemuda itu dibawa ke rumah Kiai Kholil. Setelah berbasa-basi dengan
seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima
sebagai santri Kiai Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah.
Kelak kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan
nama KH. Wahab Hasbullah, seorang Kiai yang sangat alim, jagoan
berdebat, pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH
Wahab Hasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik
kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Kiai
Kholil.[7]
3. KETINGGALAN KAPAL LAUT
Kejadian ini pada
musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju
Makkah, semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap,
tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya :
“Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” ucap istrinya dengan memelas.
“Baik,
kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari
anggur,” jawab suaminya sambil bergegas di luar kapal.
Setelah
suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak
ditemui penjual anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar
untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama, toh
akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami
mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke
kapal untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai
ke ajungan kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh.
Sedih sekali melihat kenyataan ini. Duduk termenung tidak tahu apa yang
mesti diperbuat.
Disaat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada
seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat:
“Datanglah kamu kepada Kiai Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang
menimpa dirimu !” ucapnya dengan tenang.
“Kiai Kholil?” pikirnya.
“Siapa
dia, kenapa harus kesana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari
kapal?” begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
“Segeralah
ke Kiai kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu
alami, insya Allah.” Lanjut orang itu menutup pembiocaraan.
Tanpa
pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke
Bangkalan. Setibanya di kediaman Kiai Kholil, langsung disambut dan
ditanya :
“Ada keperluan apa?”
Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Kiai Kholil.
Tiba-tiba Kiai berkata :
“Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”
Lalu suami itu kembai dengan tangan hampa.
Sesampainya
di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang
menyuruh ke Kiai Kholil lalu bertanya: ”Bagaimana? Sudah bertemu Kiai
Kholil ?”
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan” katanya dengan nada putus asa.
“Kembali
lagi, temui Kiai Kholil !” ucap orang yang menasehati dengan tegas
tanpa ragu. Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Kiai
Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ke tiga
kalinya, Kiai Kholil berucap, “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin
sekali, saya bantu sampeyan.”[8]
“Terima kasih Kiai,” kata sang suami melihat secercah harapan.
“Tapi ada syaratnya.” Ucap Kiai Kholil.
“Saya akan penuhi semua syaratnya.” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Lalu
Kiai berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan
jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah
meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” pesan dan tanya Kiai seraya menatap
tajam.
“Sanggup, Kiai, “ jawabnya spontan.
“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Kiai Kholil.
Lalu
sang suami melaksanakan perintah Kiai Kholil dengan patuh. Setelah
beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya
dirinya sudah berada di atas kapal lalu yang sedang berjalan. Takjub
heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya.
Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya
mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di
salah satu ruang kapal.
“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur
jauh sekali” dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi
apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal. Padahal sebenarnya
dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali
ini dialami selam hidupnya. Terbayang wajah Kiai Kholil. Dia baru
menyadarinya bahwa beberapa saat yang alalu, sebenarnya dia baru saja
berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar
biasa.
4. SANTRI MIMPI DENGAN WANITA.
Dan
diantara karomahnya, pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama
Bahar dari Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak
bisa sholat subuh berjamaah. Ketidak ikutsertaan Bahar sholat subuh
berjamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Semalam
Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan
Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil, istri gurunya[9].
Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap:
“Santri kurang ajar.., santri kurang ajar..“[10]
Para
santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran
dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu.
Subuh itu Bahar memang tidak ikut sholat berjamaah, tetapi bersembunyi
di belakang pintu masjid.
Seusai sholat subuh berjamaah, Kiai Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya :
“Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Kiai Kholil nada menyelidik.
Semua
santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti
itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu siapa yang tidak
hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar. Kemudian Kiai
Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah
diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap tajam-tajam
kepada bahar seraya berkata:
“Bahar, karena kamu tidak hadir
sholat subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di
belakang pesantren dengan petok ini” Perintah Kiai Kholil. Petok adalah
sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput. Setelah menerima perintah
itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana
Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana
sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang
lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik[11].
“Alhamdulillah, sudah selesai, Kiai.” Ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati.
“Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis.” Perintah Kiai kepada Bahar.
Sekali
lagi santri Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Kiai Kholil.
Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh
makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia.
Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan yang ada
di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya
berucap:
“Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini.”
Ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar. Dengan perasaan senang
dan mantap santri Bahar pulang meninggalkan pesantren Kiai Kholil menuju
kampung halamannya.
Memang benar, tak lama setelah itu, santri
yang mendapat isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang
sangat alim, yang memimpin sebuah pondok pesantren besar di Jawa Timur.
Kia beruntung itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan
santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sido Giri, Pasuruan, Jawa
Timur.
5. KIAI KHOLIL MASUK PENJARA
Diantara karomahnya dikisahkan:
Beberapa
pelarian pejuang kemerdekaan dari Jawa bersembunyi di Pesantren Kiai
Kholil. Kompeni Belanda rupanya mencium kabar itu. Tentara Belanda
berupaya keras untuk menangkap para pejuang kemerdekaan yang bersembunyi
itu. Rencana penangkapan diupayakan secepat mungkin, setelah yakin
bersembunyi di pesantren, tentara belanda memasuki pesantren Kiai
Kholil. Seluruh pojok pesantren digerebek. Ternyata tidak menemukan
apa-apa. Hal itu membuat kompeni marah besar. Karena kejengkelannya,
akhirnya membawa pimpinan pesantren, yaitu Kiai Kholil untuk ditahan.
Dengan siasat ini, mereka berharap ditahannya Kiai Kholil, para pejuang
segera menyerahkan diri. Ketika Kiai Kholil dimasukkan ke dalam tahanan,
maka beberapa perisriwa ganjil mulai muncul. Hal ini membuat susah
penjajah Belanda. Mula-mula ketika Kiai Kholil masuk ke dalam tahanan,
semua pintu tahanan tidak bisa ditutup. Dengan demikian pintu tahanan
dalam keadaan terbuka terus menerus. Kompeni Belanda harus berjaga siang
dan malam secara terus menerus. Sebab jika tidak, maka tahanan bisa
melarikan diri. Pada hari berikutnya, sejak Kiai Kholil ditahan, ribuan
orang Madura dan Jawa berdatangan untuk menjenguk dan mengirim makanan
ke Kiai Kholil. Kejadian ini membuat kompeni merasa kewalahan mengatur
orang sebanyak itu. Silih berganti setiap hari terus menerus. Akhirnya,
kompeni membuat larangan berkunjung ke Kiai Kholil. Pelarangan itu,
rupanya tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat justru datang setiap
harinya semakin banyak. Para pengunjung yang bermaksud berkunjung ke
Kiai Kholil bergerombol di sekitar rumah tahanan. Bahkan, banyak yang
minta ditahan bersama Kiai Kholil. Sikap nekad para pengunjung Kiai
Kholil ini jelas membuat Belanda makin kewalahan. Kompeni merasa
khawatir, kalau dibiarkan berlarut larut suasana akan semakin parah.
Akhirnya, daripada pusing memikirkan hal yang sulit dimengerti oleh akal
itu, kompeni belanda melepaskan Kiai Kholil begitu saja.
Setelah
kompeni mengeluarkan Kiai Kholil dari penjara, baru semua kegiatan
berjalan sebagaimana biasanya. Demikian juga dengan pintu penjara, sudah
bisa ditutup kembali serta para pengunjung yang berjubel disekitar
penjara, kembali pulang kerumahnya masing-masing.
6. RESIDEN BELANDA
Dan
diantara karomahnya, suatu hari, Residen Belanda yang ditempatkan di
Bangkalan mendapat surat yang cukup mengejutkan dari pemerintah Colonial
Belanda di Jakarta. Surat tersebut berisi tentang pemberhentian dirinya
sebagai Residen di Bangkalan. Padahal jabatan itu masih diinginkan
dalam beberapa saat. Residen itu berkata dengan Residen belanda yang
lainnya. Hati nurani Residen yang satu ini tidak pernah menyetujui
penjajahan oleh negaranya. Untuk mempertahankan posisinya, Residen
belanda yang simpati kepada bangsa Indonesia mau berkorban apa saja
asalkan tetap memangku jabatan di Bangkalan, Kebetulan sang Residen
mendengar kabar bahwa di Bangkalan ada orang yang pandai dan sakti
mandraguna[12]. Tanpa pikir panjang lagi, sang Residen segera pergi
untuk menemui orang yang diharapkan kiranya dapat membantu mewujudkan
keinginannya itu.
Maka, berangkatlah sang Residen itu ke Kiai
Kholil dengan ditemani beberapa kolegannya. Sesampainya di kediaman Kiai
Kholil, sang Residen Belanda langsung menyampaikan hajatnya itu. Kiai
Kholil tau siapa yang dihadapinya itu, lalu dijawab dengan santai seraya
berucap :
“Tuan, selamat.., selamat.., selamat..” Ucapnya dengan
senyuman yang khas. Residen Belanda merasa puas terhadap jawaban Kiai
Kholil dan setelah itu berpamitan pulang.
Selang beberapa hari
setelah kejadian itu, sang Residen menerima surat dari pemerintah
Belanda yang isinya pencabutan kembali surat keputusan pemberhentian
atas dirinya. Betapa senangnya menerima surat itu. Dengan demikian,
dirinya masih tetap memangku jabatan di daerah Bangkalan.
Sejak
peristiwa itu, Kiai kholil diberi kebebasan melewati seluruh daerah
Bangkalan. Bahkan, Kiai Kholil bisa menaiki dokar seenaknya melewati
daerah terlarang di Keresidenan Bangkalan tanpa ada yang merintanginya.
Baik residen maupun aparat Belanda semuanya menaruh hormat kepada Kiai
Kholil. Seorang Kiai yang dianggap memiliki kesaktian luar biasa.
7. SURAT KEPADA ANJING HITAM
Musim
haji telah tiba. Sebagaimana biasanya, penduduk daerah Bangkalan yang
akan menunaikan ibadah haji terlebih dahulu sowan kepada Kiai Kholil.
Fulan calon jamah haji Bangkalan. Menjelang keberangkatannya, terlebih
dahulu menyempatkan sowan ke Kiai Kholil. Kiai, ketika melihat diantara
tamu terdapat si Fulan, maka segera menyuruh mendekat.
“Fulan,
ini surat. Sesampainya di Masjidil Haram, berikan surat ini kepada
anjing hitam.” Pesan Kiai kepada si Fulan dengan datar.
“Ya,
Kiai. Saya akan menyampaikan surat ini.” Jawab si Fulan tanpa berani
menatap dan bertanya kenapa Kiai menyuruh demikian. Sesusai sowan kepada
Kiai, Fulan langsung pulang ke rumahnya. Berbagai kecamuk dan
pertanyaan dibenakknya.
Hari keberangkatan pun tiba. Dengan niat
yang ikhlas, Fulan berangkat ke tanah suci. Sesampainya di Makkah, Fulan
menunaikan Ibadah hajinya dengan baik. Sungguhpun demikian, Fulan belum
tenang kalau amanat yang dipesankan Kiai Kholil belu dilaksanakan.
Segera fulan pergi ke halaman Masjidil Haram, terdorong karena patuhnya
kepada Kiai Kholil, ingin segera menyampaikan pesan yang sangat aneh
ini. Tapi bagaimana caranya?
Tak disangka, ditengah keasyikannya
merenung itu. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, didepannya sudah
berdiri seekor anjing hitam. Tanpa pikir panjang lagi, Fulan segera
meraih surat yang ada di sakunya. Seketika itu juga, disodorkannya surat
itu kepada anjing hitam. Telinga anjing itu bergerak-berak, lalu
menggigit surat itu pelan-pelan. Beberapa saat anjing itu menatap tajam
wajah si Fulan seolah-olah ingin mengungkapkan rasa terima kasih.
Setelah itu dengan langkah tenang dan wibawa, sang anjing hitam itu
meninggalkan Fulan yang masih terpana. Dipandangnya anjing itu hingga
tidak terlihat lagi dari pandangan mata Fulan.
Fulan merasa lega.
Sebab, amanat yang tidak dipahami itu sudah ditunaikan. Waktu pun
bergulir hingga selesailah ibadah Rukun Islam yang kelima itu. Semua
jamaah haji seantero dunia pulang ketanah airnya masing-masing begitu
pula dengan fulan pulang ke Bangkalan.
Bagi fulan, sungguhpun
sudah selesai ibadah haji, namun kecamuk surat misterius itu masih
melekat di benaknya. oleh sebab itu, setibanya di Bangkalan, pertama
kali yang ditemuinya adalah Kiai Kholil.
“Sudah disampaikan surat saya, Fulan?” Kata Kiai menyambut kedatangan Fulan.
“Sudah, Kiai.” Tegas fulan lega. “Tapi, Kiai..” Kata fulan agak tersendat-sendat
“Ada
apa Fulan?” Kata Kiai Kholil tanpa menunjukkan ekspresi yang aneh.
“Kalau boleh Tanya, kenapa Kiai mengirim surat kepada anjing hitam?”
Tanya si Fulan terheran-heran.
“Fulan, yang kamu temui itu bukan
sembarang anjing. Dia adalah salah seorang wali Allah yang menyamar
sebagai anjing hitam yang menunaikan Ibadah haji tahun ini.” Jelas sang
Kiai.
Mendengar keterangan Kiai Kharismatik itu, si Fulan baru
memahami dan menyadari apa yang ada dibalik peristiwa itu. Dan sifulan
pun hanya bisa menganggut sambil mengenang saat sang anjing berhadapan
dengan dirinya.
8. ORANG ARAB DAN MACAN TUTUL
Dan
diantara karomahnya, suatu hari menjelang sholat magrib. Seperti
biasanya Kiai Kholil mengimami jamaah sholat bersama para santri
Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba
kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang Madura menyebutnya Habib[13].
Seusai
melaksanakan sholat, Kiai Kholil menemui tamu-tamunya, termasuk orang
Arab yang baru datang itu. Sebagai orang Arab yang mengetahui kefasihan
Bahasa Arab[14], habib tadi menghampiri Kiai Kholil seraya berucap :
“Kiai, bacaan Al-Fatihah antum (anda) kurang fasih.” Tegur Habib.
“O.. begitu?!” Jawab Kiai Kholil dengan tenang.
Setelah
berbasa-basi beberapa saat. Habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk
melaksanakan sholat magrib. “Tempat wudlu ada di sebelah masjid itu,
Habib. Silahkan ambil wudlu di sana.” Ucap Kiai sambil menunjukkan arah
tempat wudlu. Baru saja selesai wudlu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan
dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa
Arabnya, yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu.
Meskipun Habib mengucapkan Bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir
macan tutul, namun macan itu tidak pergi juga.
Mendengar
ribut-ribut di sekitar tempat wudlu Kiai Kholil datang menghampiri.
Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai Kholil
mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang
macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya
kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh.
Dengan kejadian
ini, Habib paham bahwa sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi
pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara
fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam
ungkapan itu.
9. TONGKAT KIAI KHOLIL DAN SUMBER MATA AIR
Dan
diantara karomahnya, pada suatu hari. Kiai Kholil berjalan ke arah
selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup
jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil
menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan
serta merta Kiai Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari arah
lobang bekas tancapan Kiai Kholil, memancarlah sumber air yang sangat
jernih. Semakin lama semakin besar. Bahkan karena terus membesar, sumber
air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan
mandi. Lebih dari itu; sumber mata airnya dapat menyembuhkan pelbagai
macam penyakit[15].
Kolam yang bersejarah itu, sampai sekarang
masih ada. Orang Madura menamakannya Kolla Al-Asror Langgundi. Letaknya
sekitar 1 km sebelah selatan kompleks pemakaman Kiai Kholil Bangkalan.
Banyak orang yang datang dari jauh hanya sekedar untuk minum dan mandi.
Mereka yakin bahwa air yang ada di sumber mata air di Langgundi itu,
adalah jejak karomah-karomah Kiai Kholil yang diyakini membawa berkah.
[1]
“Karaamah” merupakan mashdar dari “karuma”, maka “karaamah” berarti
kemuliaan, yakni kemuliaan yang diberikan oleh Allah pada seorang shaleh
yang dicintai-Nya.[2] Sebernarnya karomah hanyalah sebuah istilah,
sebagaimana mu’jizat diistilahkan untuk Nabi.[3] Khoriqun lil’adah: luar
biasa. Sebenarnya banyak hal luar biasa yang terkadang kurang dianggap
luar biasa oleh kebanyakan orang, sehingga banyak karomah yang dimiliki
oleh para ulama tapi tidak dipandang sebagai karomah. Misalnya karya
ilmiyah keislaman. Suatu contoh Al-Imam An-Nawawi dan Al-Imam
As-Suyuthi, dengan umur yang relatif sedikit mereka telah mampu menulis
kitab puluhan ribu halaman pada zaman belum ada alat tulis yang cukup.
Dengan kondisi seperti itu, akal kita tidak akan mampu menggambarkan
bagaimana mereka menulis kitab sebanyak itu, dan itu berarti semua itu
adalah luar biasa. Maka tentu saja keluarbiasaan itu sangat layak untuk
disebut karomah, bahkan lebih layak daripasa sekedar bisa terbang dan
sebagainya. Dari itu dalam catatan kaki ini saya lebih menekankan pada
pemahaman bahwa karomah berupa karya ilmu dan pendidikan itu lebih utama
daripada karomah yang “aneh-aneh”, dan Syekh Kolil memiliki “karomah
utama” itu. Saya tidak mau ada yang mengatakan bahwa Syekh Kholil hanya
dikagumi oleh orang awam yang suka dengan cerita-cerita aneh. Syekh
kholil memiliki keistimewaan yang patut dikagumi oleh kaum ulama,
intelektual, budayawan dan kalangan apapun yang mendahulukan ilmu dan
pendidikan. Syekh Kholil memiliki prestasi yang tidak masuk akal dalam
dunia pendidikan, ribuan pesantren didirikan oleh ribuan ulama hasil
didikan beliau. Angka yang tidak masuk akal itu menjadi lebih
menakjubkan karena yang dihitung adalah wujud kesuksesan dalam
pendidikan dan da’wah Islam, prestasi yang paling tinggi dalam dunia
ibadah dengan angka yang luar biasa. Inilah karomah tertinggi Syekh
Kholil, sehingga seandainya beliau tidak memiliki karomah yang aneh-aneh
maka hal itu sama sekali tidak mengurangi bukti “kewalian” beliau.
Dengan ribuan pesantren itu kita tidak perlu mencari cerita aneh beliau
untuk membuktikan bahwa beliau adalah kekasih Allah.
[4] Saifur Rachman, Surat kepada Anjing Hitam, Pustaka Ciganjur cetakan pertama tahun 1999, halaman 31-32.
[5]
Maksudnya kebetulan Syekh Kholil sedang mengajar kitab nahwu. Sebagian
orang menganggap pelajaran nahwu itu sebagai pelajaran tersulit,
sehingga terkesan bahwa orang yang paling alim adalah yang paling ahli
nahwu. Padahal nahwu hanyalah pelajaran bahasa yang berarti pelajaran
tahap awal bagi yang ingin dapat membaca dan berbicara bahasa Arab.
Ketika Syekh Kholil sering disebut-sebut sebagai ahli Nahwu, maka
sebagian orang yang menganggap ilmu nahwu tidak terlalu rumit merasa
Syekh Kholil tidak luar biasa jika hanya karena ilmu nahwu. Maka dari
itu, saya ingin tegaskan bahwa ilmu nahwu bagi Syekh Kholil bukan “ilmu
pamungkas”. Beliau mendapatkan derajat tinggi bukan karena beliau
dikenal dengan ilmu nahwunya, karena ilmu nahwu sifatnya hanya ilmu alat
dan perantara. Beliau mendapatkan derajat tiggi karena ilmu yang utama,
yaitu ilmu mengenal Allah dan syari’at-Nya. Ketika diceritakan bahwa
Syekh Kholil sangat pakar dalam ilmu nahwu, maka kita dapat menyimpulkan
bahwa kalau ilmu alatnya saja beliau begitu menekuni sampai paham
setiap permasalahannya dan hafal di luar kepala, maka apalagi dengan
ilmu syari’atnya, tentulah beliau lebih luas lagi dalam ilmu syari’at
yang beliau anggap sebagai tujuan utama.
[6] Ada yang bertanya
mengapa Syekh Kholil tidak menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an atau doa-doa
ma’tsurat saja, mengapa beliau menggunakan kalimat yang justru tidak ada
hubungannya dengan permasalahan, tidakkah itu termasuk bid’ah? Maka
untuk pertanyaan itu saya jawab dengan berikut:
1. Syekh Kholil
sedang membahas lafazh “qoma zaidun” maka beliau bermaksud bergurau
dengan santri-santri beliau yang sedang tegang mempelajari ilmu nahwu,
karena tamu-tamu itu adalah para petani yang tidak mengerti arti “qoma
zaidun”. Dari sini kita dapat menilai karakter Syekh Kholil, berarti
beliau seorang ulama yang berwibawa dan terkadang humoris, sebuah
karakter yang disukai banyak orang.
2. “Qoma zaidun” yang
diucapkan Syekh kholil adalah merupakan bahasa kinayah, di mulut beliau
menyebut “zaidun” akan tetapi di hati beliau bermaksud “pencuri timun”,
sedangkan jumlah fi’il-fa’il dimaksudkan “jumlah du’aiyyah”. Maka
artinya adalah “semoga pencuri timun itu berdiri.”
3. Para petani
dibiarkan membaca “qoma zaidun” karena mereka memang tidak mengerti
bahasa Arab, maka sudah pasti ketika mereka membaca “qoma zaidun” maka
di hati mereka bermaksud berdoa sebagaimana doa Syekh Kholil. Maka
ketika para petani membaca “qoma zaidun”, sebenarnya bacaan itu berarti
mengamin doa Syekh Kholil, seolah-olah mereka berkata “saya berdoa
sebagaimana doa Syekh Kholil”. Dan wajarlah kalau Allah-pun mendengar
doa Syekh Kholil yang diamini oleh para petani itu.
Dengan
demikian, maka tidak ada kejanggalan dari cerita diatas untuk dihujat
sebagai bid’ah. Ini adalah analisa saya, berangkat dari husnuzhon saya
kepada ulama semisal Syekh Kholil. Sesuai dengan ajaran Rasulullah:
كُنْ كَالْمُؤْمِنِ يَطْلُبُ الْمَعَاذِرَ، وَلاَتَكُنْ كَالْمُنَافِقِ يَطْلُبُ الْمَعَايِبَ
“Jadilah
sebagai orang mukmin yang selalu mencari alasan baik. Dan janganlah
menjadi sebagai orang munafiq yang suka mencari aib.”
[7] Banyak
terjadi perlakuan aneh dari Ulama zaman dahulu, baik pada santri maupun
tamu. Dalam cerita diatas kita dapat menebak bahwa apa yang dilakukan
Syekh Kholil adalah merupakan firasat dan memberi ujian. Syekh memiliki
firasat tentang pemuda Wahab Hasbullah, kemudian beliau bermaksud
menguji kesungguhan pemuda itu untuk belajar pada beliau. Hal seperti
ini dapat terjadi antara guru dan murid yang memiliki hubungan kecintaan
kepercayaan yang kuat. Makanya tidak ada seorang kiai yang menguji
diluar kemuampuan muridnya, terbukti sang murid lulus walaupun terkadang
ujiannya tidak masuk akal. Bagi orang yang belum pernah merasakan
kecintaan dan kepercayaan yang kuat terhadap guru, hal seperti ini bisa
saja dianggap berlebihan. Akan tetapi fakta membuktikan bahwa semua
ulama besar tidak sekedar dibesarkan oleh ilmu yang dipelajari dari
gurunya, melainkan lebih dibesarkan oleh keberkahan berkat cinta dan
percaya yang amat kuat kepada gurunya.
[8] Suami itu sebenarnya
tidak paham yang dimaksud minta tolong kepada Syekh Kholil, dia pikir
Syekh Kholil dapat menolongnya secara tehnis, sedangkan yang dimaksud
oleh orang yang menunjukkan tadi adalah meminta doa kepada beliau.
Ketika suami itu datang kepada Syekh Kholil minta tolong maka Syekh
Kholil memberi saran untuk menghubungi pihak pelabuhan. Kedatangan sang
suami kepada Syekh Kholil sampai tiga kali bukan karena Syekh Kholil
pelit atau tidak tahu apa yang harus beliau lakukan, makanya saya kurang
sreg dengan kalimat “karena sampeyan ingin sekali, saya bantu
sampeyan.” Saya rasa itu hanya gubahan penulis atau perawi. Syekh Kholil
pasti tahu sejak awal bahwa sang suami itu ingin sekali menyelesaikan
masalahnya, beliau tidaklah baru menyadari setelah kedatangan yang
ketiga. Siapa yang mengaggap problem sang suami itu tidak serius?! Syekh
Kholil tidak langsung berdoa sejak kedatangan pertama karena memang
sang suami itu tidak minta doa, dan sebagai orang yang tawadhu’, beliau
tidak langsug menawarkan doa, karena menawarkan doa bisa saja terkesan
menganggap dirinya punya doa manjur. Dari situ kita dapat melihat
ketawadhu’an Syekh Kholil, baik di hadapan Allah maupun di hadapan
manusia. Hal ini berbeda dengan “kiai dukun” yang justru pasang iklan
seoalah-olah berkata: “Mintalah doa pada saya, karena doa saya manjur.”
Inilah yang membedakan antara “kiai wali” dengan “kiai dukun”, yaitu
tawadhu’ di hadapan Allah dan di hadapan manusia.
[9] Bermimpi
seseorang wanita tidak harus sering atau habis memikirkannya sebelum
tidur, maka jangan sampai mengira bahwa mungkin saja Kiai Bahar
memikirkan istri gurunya sebelum tidur.
[10] Kemarahan Syekh
Kholil bukan karena Kiai Bahar bersalah sebab mimpi itu, melainkan
semacam hardikan agar Kiai Bahar melupakan mimpi itu, agar tidak diingat
lagi walaupun untuk menyesalinya.
[11] Tugas itu sebenarnya
bukan hukuman, Syekh Kholil menyebutnya hukuman untuk tidak membuat
bingung santri-santri yang lain, sehingga di mata mereka, Bahar dihukum
karena tidak shalat berjamaah. Adapun sebenarnya itu adalah ujian
sebagaimana yang juga sering diberikan pada murid lainnya.
[12] Sakti mandraguna menurut paham sang Residen, karena ia tidak mengerti soal wali dan karomah.
[13]
Ada suatu kesalahan yang banyak dipahami oleh orang awam, baik di
Madura maupun di Jawa, mereka pikir semua orang Arab itu “Habib”. Habib
adalah julukan yang diberikan oleh orang Yaman terhadap keturunan
Rasulullah. Kemudian julukan ini menjadi populer juga di berbagai
negara, walaupun sebenarnya hanya lebih populer di kalangan Habib dari
Yaman sendiri atau yang mengenalnya. Dalam menjuluki Habib, orang Madura
atau Jawa -yang paham maksudnya- sebenarnya hanya ikut-ikutan orang
Yaman saja, itu juga dipakaikan pada Habib yang berasal dari Yaman atau
yang masih kental ke”Yaman”anya. Orang Madura atau Jawa sebenarnya tidak
punya julukan khusus untuk keturunan Rasulullah secara umum, maka dari
itu mereka tidak menjuluki Syekh Kholil dan sebagainya dengan “Habib”
walaupun tahu bahwa mereka juga cucu Rasulullah. Bagi Mereka, Habib
adalah curu Rasululullah yang di Arab atau yang masih menggunakan
kebangsaan Arab. Dalam cerita ini, mengingat sebagian orang Madura
menganggap semua orang Arab itu Habib, maka hendaknya dimaklumi bahwa
Habib dalam cerita ini belum tentu Habib yang sebenarya, mungkin saja
orang Arab biasa. Kalaupun ternyata memang Habib sebenarnya, hendaknya
dimaklumi bahwa cerita ini tidak menyimpulkan bahwa ada seorang bahngsa
Sayyid dikalahkan seorang bangsa Madura, karena sebenarnya Syekh Kholil
juga bangsa Sayyid yang telah njawani sejak dari leluhurnya.
[14]
Sebenarnya tidak semua orang Arab fasih tajwidnya, baik yang di
Indonesia maupun yang di Arab sekalipun, kecuali yang memang belajar
tajwid. Saya jadi teringat waktu ngobrol dengan Sayyid Anis Bin Syihab
Malang, beliau berkata dengan nada berkelakar: “Watak orang Arab itu
memang PD-an, kalau mereka datang ke kampung-kampung kemudian disuruh
jadi imam langsung aja maju, padahal baca Qur’annya masih bagus orang
Jawa.” Yakni orang Jawa kampung yang pada umumnya belajar tajwid sejak
kecil.
[15] Apabila air itu benar-benar terbukti pernah
menyembuhkan penyakit seseorang, maka ada dua kemungkinan bagaimana
proses kemujaraban air itu. Pertama, mungkin air itu memang mengandung
zat yang berguna untuk penyembuhan, maka berarti air itu dapat
menyembuhkan secara medis, walaupun tidak ada yang megerti tentang hal
itu. Namun bukan berarti tidak ada hubungannya dengan karomah Syekh
Kolil, melainkan ketika Syekh Kholil menemukan sumber itu maka berarti
beliau telah melakukan hal yang luar biasa. Kedua, mungkin air itu hanya
air biasa, namun air itu menjadi mujarab berkat Syekh Kholil. Adapun
prosesnya adalah dengan tabarruk, yakni memohon berkah kepada Allah
dengan perantara benda bekas orang shaleh. Ketika seseorang datang dan
meminum air Kolla Al-Asror, mereka berkeyakinan bahwa Kolla itu adalah
peninggalan Syekh Kholil yang mereka yakini sebagai orang shaleh kekasih
Allah. Mereka bertabarruk dengan air kolla itu sebagaimana yang
dibenarkan oleh Syari’at Islam.
Masalah Tabarruk
Masalah
ini perlu saya bahas agar tidak ada yang salah paham mengenai cerita
diatas. Tabarruk adalah bagian daripada tawassul, yaitu mengambil
perantara didalam berdoa kepada Allah. Yang dimaksud mengambil perantara
adalah merayu Allah dengan menyebut-nyebut orang yang dicintai Allah.
Ketika seseorang bertawassul dengan Nabi, misalnya, maka seolah-olah ia
berkata: “Ya Allah, kalau Nabi saja aku cintai karena beliau kekasih-Mu,
maka apalagi Engkau, tentu Engkau lebih aku cintai. Maka berkat cinta
ini kabulkanlah doaku”. Itulah yang dimaksud tawassul. Adapun tabarruk
adalah bertawassul dengan menyentuh benda-benda yang berhubungan dengan
kekasih Allah. Maka tabarruk masih dalam rentetan tawassul. Ketika
seseorang bertabarruk dengan baju bekas orang shaleh, misalnya, maka
seolah-olah ia berkata: “Ya Allah, kalau baju bekas orang shaleh saja
aku cintai, apalagi orang shaleh yang punya baju. Dan karena aku
mencintai orang shaleh itu karena dia adalah kekasih-Mu, maka apalagi
Engkau, tentu Engkau lebih aku cintai. Maka berkat cinta ini kabulkanlah
doaku.”
Orang yang menentang tawassul dan tabarruk itu
sebenarnya disebabkan karena ia tidak mengerti tentang dua hal, yaitu
tidak mengerti maksudnya dan tidak mengerti bahwa Syari’at Islam
mengajarkan tawassul dan tabarruk sebagai salah satu cara beribadah.
Tawassul diajarkan dalam Syari’at Islam, diantara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
1. Allah SWT berfiran:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ..
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan ambillah perantara kepadaNya..” (Q.S. Al-Maidah : 35)
2. Allah SWT berfirman:
أُولـئِكَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ يَبْتَغُوْنَ إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
“Mereka adalah orang-orang yang berdoa dengan mengambil perantara kepada Tuhan mereka.” (Q.S. Al-Isra’ : 57).
3. Allah berfirman:
.. وَكَانُوْا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُوْنَ عَلى الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوْا كَفَرُوْا بِهِ ..
“..
Dan adalah mereka sebelumnya telah memohon (kepada Allah) akan
kemenangan atas orang-orang kafir. Dan ketika datang apa yang mereka
kenal itu merekapun kemudian mengingkarinya. ..” (Q.S. Al-Baqarah : 89)
Kata
Sahabat Abdullah bin Abbas, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ktasir
dalam Tafsirnya, Yang dimaksud ayat itu adalah orang Yahudi Khaibar,
ketika berperang dengan orang-orang Ghathfan, mereka terdesak dan
kemudian berdoa kepada Allah berta-wassul dengan Nabi akhir zaman. Akan
tetapi setelah Rasulullah muncul mereka malah mengingkari beliau.
Riwayat ini menyimpulkan bahwa Allah membenarkan orang yang bertawassul
dengan orang shaleh walaupun ia belum lahir, apabila kelahiranya telah
dikabarkan oleh Allah.
4. Ketika memakamkan ibu Sayyidina Ali bin
Abi Thalib yang bernama Fathimah binti Asad, Rasulullah turun sendiri
ke liang lahat kemudian memuji Allah dan berdoa:
اِغْفِرْ
لِأُمِّيْ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقِّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ
عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَالأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِيْ ..
“Ampunilah
ibuku, Fathimah binti Asad, dan tuntunlah ia akan hujjahnya (jawaban
pertanyaan kubur) dan lapangkanlah tempatya, dengan kebenaran Nabi-Mu
dan Nabi-Nabi sebelumku..” (H.R. Ath-Thabrani dan Ad-Dailami,
dinyatakkan shahih oleh Al-Haitsami)
Hadits ini menyimpulkan
bahwa tawassul dengan orang shaleh yang telah meninggal itu juga
diajarkan oleh Rasulullah, karena para Nabi yang ditawassuli oleh beliau
telah meninggal semua.
5. Al-Imam Ath-Thabrani meriwayatkan
dalam kedua kitabnya, “Al-Mu’jam Al-Kabir” (9/17) dan “Al-Mu’jam
Ash-Shaghir” (hal. 201), bahwa Sahabat Utsman bin Hunaif meriwayatkan,
bahwa suatu ketika ada seseorang yang datang menemui Khalifah Utsman bin
Affan, orang itu datang dengan suatu keperluan, akan tetapi (mungkin
karena sibuk dengan suatu masalah) Khalifah tidak menaggapinya. Maka
Utsman bin Hunaif berkata kepadanya:
“Berwudhu’lah dan shalat dua raka’at, kemudian bacalah:
اَللّهُمَّ
إِنِّيْ أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا
مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ
إِلى اللهِ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضى لِيْ
Ya Allah, sesungguhnya
aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepadamu dengan Nabi kami, Muhammad
Nabi rahmat. Wahai Nabi Muhammad, denganmu aku menghadap Tuhanku dalam
urusan keperluanku ini agar dipenuhinya.
Kemudian kembalilah menemui Khalifah.”
Orang
itupun melakukan himbauan Utsman bin Hunaif kemudian kembali mendatangi
Khalifah Utsman bin Affan. Begitu menemui pengawal ia langsung dibawa
masuk dan Khalifah mempersilahkan dia duduk di dekatnya, iapun ditanya
apa keperluannya dan Khalifahpun langsung memenuhinya. Seberanjaknya
dari Khalifah, orang itu langsung menemui Utsman bin Hunaif dan berkata:
“Semoga Allah membalas jasamu dengan baik. Semula Khalifah sama sekali
tidak mempedulikanku, bahkan tidak mau menoleh sedikitpun paadaku,
sampai engkau membantuku dengan berbicara padanya.” Orang itu mengira
Utsman bin Hunaif telah memberi rekomendasi pada Khalifah Utsman bin
Affan. Maka Utsman bin Hunaif berkata: “Demi Allah, aku tidak berbicara
apa-apa pada Khalifah, akan tetapi aku pernah menyaksikan Rasulullah SAW
ketika didatangi seseorang mengadukan matanya yang buta. Rasulullah
berkata: “Kalau kau mau maka kau bisa bersabar, dan kalau kau mau maka
aku akan mendoakanmu.” Orang itu menjawab: “Ya Rasulallah, kebutaan ini
menyulitkan saya, karena saya tidak punya siapa-siapa untuk menuntun
saya.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Berwudhu’lah dan shalatlah dua
raka’at kemudia berdoalah .. dst.” Yaitu doa diatas. Utsman bin Hunaif
melanjutkan dan berkata: “Orang itupun melakukan apa yang diajarkan
Rasulullah SAW. Dan demi Allah, tidak beberapa lama kemudian orang
itupun kembali dengan keadaan dapat melihat, seolah-olah matanya tidak
pernah sakit sama sekali.”
Riwayat ini menyimpulkan dua hal:
Pertama,
bahwa bertawassul dengan orang shaleh yang hidup dan memanggil namanya
dari jauh itu tidak apa-apa, walaupun yang ditawassuli tidak mendengar
panggilannya, karena dalam riwayat diatas Utsman bin Hunaif berkata
“tidak beberapa lama orang itupun kembali dengan keadaan dapat melihat”,
maka berarti orang itu membaca doa tawassul yang ada kalimat “ya
Rasulullah”nya tidak di hadapan Rasulullah SAW.
Kedua, bahwa
bertawassul dengan orang shaleh yang telah meninggal dunia itu tidak
apa-apa, karena cerita diatas terjadinya pada zaman Khalifah Utsman bin
Affan dan Rasulullah SAW telah meninggal dunia.
6. Al-Bukhari dan
Muslim meriwayatkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam gua
karena tiba-tiba ada batu besar terjatuh dari atas gunung dan menutup
pintu gua itu. Kemudian mereka bertawassul dengan menyebut amal shaleh
mereka masing-masing, sehingga batu itupun bergeser dan terbukalah pintu
gua. Hadits ini menyimpulkan bahwa bertawassul dengan amal shaleh juga
diajarkan oleh Rasulullah SAW.
7. Al-Bukhari, Muslim dan Abu
Dawud meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah mencukur rambut untuk
tahallul haji, kemudian rambut itu beliau serahkan pada Sahabat Thalhah
untuk dibagikan pada Sahabat-sahabat yang lain. Maka para sahabatpun
berebut rambut Rasulullah, tentu saja untuk ngalap berkah (tabarruk),
karena rambut tidak bisa dimakan. Diantara mereka ada yang mencelup
rambut Rasulullah ke dalam air kemudian airnya diminumkan pada orang
sakit.
8. Al-Hafizh Ibnu Hajar meriwayatkan dalam kitabya,
“Al-Mathalib Al-‘Aliyah” (4/90), bahwa Sahabat Khalid bin Al-Walid
berebut rambut Rasulullah ketika bercucukur untuk tahallul umroh,
kemudian rambut itu segera ia selipkan di kopiahnya. Khalid berkata:
“Dalam memimpin setiap pertempuran aku selalu menang tanpa cedera
sedikitpun apabila aku memakai kopiah yang ada rambut Rasulullah itu.”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan Abu Ya’la serta
dinyatakan shahih oleh Al-Haitsami dan Al-Bushiri.
9. Al-Imam
Muslim meriwayatkan, bahwa Asma’ binti Abi Bakar memiliki jubah
Rasulullah dan beliau berkata: “Jubah ini dulunya ada pada Aisyah,
setelah ia meninggal akupun mewarisinya. Jubah itu pernah dipakai oleh
Rasulullah SAW. Maka kamipun suka merendam jubah itu ke dalam air dan
airnya kami minumkan pada orang sakit untuk mengharap kesembuhan.
Ketiga
hadis terakhir ini menyimpulkan bahwa Rasulullah membenarkan tabarruk
dengan benda bekas orang shaleh. Dan masih banyak lagi Hadits-hadits
shahih yang meriwayatkan tentang bagaimana para Sahabat bertabarruk
dengan benda-benda bekas Nabi yang lain, seperti potongan kuku, bekas
air wudhu dan sebagainya.
Kesimpulannya, tawasul dan tabarruk itu
diajarkan oleh syari’at. Tawassul boleh dengan Amal shaleh, dengan
Nabi, Malaikat dan orang-orang shaleh, baik mereka belum lahir, masih
hidup maupun telah meninggal dunia. Sejak zaman Sahabat Nabi, semua
ulama sepakat akan hal itu, tidak ada yang berbeda pendapat sampai
muncullah seorang bernama Ibnu Taimiyah, iapun banyak menimbulkan
masalah dengan pendapat-pendapat kontrofersialnya, termasuk pendapatnya
bahwa tawassul dengan orang yang telah meninggal itu termasuk jenis
syirik. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah pernah melakukan kebohongan dengan
mengatakan bahwa tidak ada ulama yang membolehkan tawassul dengan orang
yang telah meninggal, seperti yang ia tulis dalam kitab “At-Tawassul
wal-Wasilah” (hal.24). Padahal dalam kitabnya yang lain, yaitu
“Al-Fatawa Al-Kubra” (1/351), Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Al-Imam
Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayatnya membolehkan tawassul dengan
Nabi.
Diantara Hadits tawassul, mereka hanya mau menerima
riwayat Utsman bin Hunaif saja sebagai Hadits yang benar-benar shahih,
itupun mereka tidak mau menerima pendapat Utsman yang bertawassul dengan
Rasulullah setelah beliau wafat. Mereka hanya mau menerima bahwa
Rasulullah mengajarkan tawassul ketika beliau masih hidup.
Untuk itu saya kemukakan beberapa hal berikut:
a.
Kalau mereka menolak Hadits-hadits yang lain yang telah dishahihkan
oleh ulama ahli Hadits semacam Al-Hakim, Adz-Dzahabi, Al-Asqalani,
Al-Qusthallani dan sebagainya, maka kita tinggal memilih saja, kita
lebih percaya terhadap keahlian siapa dalam ilmu Hadits. Siapa Ibnu
Taimiyah dibanding mereka? Dia digelari “Syaikhul Islam” hanya oleh
pengikut fanatiknya saja, sementara hampir semua ulama besar justru
pernah menasehati umat agar tidak tertipu oleh pendapat-pendapatnya.
Apakah kita akan percaya pernyataan Ibnu Taimiyah dan mencampakkan
nama-nama besar itu yang masing-masing mereka bergelar “Al-Hafizh” yang
berarti telah hafal sedikitnya sepuluh ribu Hadits dengan sanadnya?
Apakah kita lebih percaya pada Ibnu Taimiyah yang banyak memberi
pernayataan “plin-plan” dalam berbagai kitabnya? Dalam segi ketelitian
berargumentasi, Ibnu Taimiyah sudah jelas nampak kacau balau, ia tidak
memenuhi syarat walaupun untuk disebut sebagai “peneliti”, apalagi untuk
disebut sebagai “ahli Hadits! Lantas bagaimana mungkin kita mau
memegang omongannya!
b. Ketika mereka (Ibnu Taimiyah dan
pegikutnya) menyatakan haram atau syirik terhadap tawassul dengan orang
meninggal, maka berarti mereka menganggap sesat dan syirik terhadap
perbuatan Utsman bin Hunaif, berarti Sahabat Nabi ada yang sesat dan
syirik. Beranikah mereka katakan itu di hadapan Rasulullah?
c.
Kita tidak usah membicarakan Hadits yang lain. Kalaupun hanya riwayat
Utsman bin Hunaif yang shahih, bahwa Rasulullah mengajarkan tawassul
sewaktu beliau hidup, riwayat ini sama sekali tidak menyimpulkan bahwa
tawassul dengan Nabi itu hanya berlaku selama beliau hidup. Seandainya
memang tawassul dengan orang meninggal itu sesat maka tentu Rasulullah
adalah orang yang paling hawatir umat beliau tersesat, maka tentu beliau
akan berpesan pada orang yang diajari tawassul itu agar “tawassul
dengan Nabi” tidak dipakai setelah beliau wafat. Kenyataannya Rasulullah
menyuruh tawassul dengan diri beliau tanpa mengkhususkan selama beliau
hidup. Maka barang siapa mengkhususkan sesuatu yang tidak dikhususkan
oleh Rasulullah, maka ia jelas-jelas telah melakukan bid’ah yang sesat.
d.
Mereka berdalih dengan sebuah riwayat shahih bahwa Khalifah Umar bin
Khaththab pernah bertawassul dengan Sayyidina Abbas bin Abdul
Muththalib, paman Nabi, pada saat shalat istisqa’ setelah Nabi wafat.
Mereka, pikir, kalau memang tawassul dengan orang meninggal itu boleh
maka tentu Khalifah Umar akan bertawassul dengan Nabi. Paham ini
sebenarnya sangat dangkal dan nampak sekali kesan pemaksaannya hanya
demi untuk mendukung pendapat mereka. Coba kita perhatikan berita
kalimat ini: “Umar bertawassul dengan Abbas, waktu tawassulnya setelah
Nabi wafat”. Jujur saja, kalimat ini memberi dua kesimpulan, yang
pertama sifatnya pasti dan yang kedua sifatnya hanya mungkin. Pertama,
berarti boleh bertawassul dengan selain Nabi. Yang kedua, bisa jadi Umar
menganggap tidak boleh bertawassul dengan orang meninggal, makanya
beliau bertawassul dengan Abbas yang masih hidup. Kemungkinan yang kedua
ini hanya “bisa jadi”, artinya bisa juga tidak. Nah, dalam kaidah Ushul
Fiqih, memutuskan suatu hukum itu harus berdasarkan nash (dalil) yang
tidak memiliki banyak kemungkinan kesimpulan. Kaidah mengatakan:
عِنْدَ وُجُوْدِ الاِحْتِمَالِ سَقَطَ الاِسْتِدْلاَلُ
“Ketika ada kemungkinan maka gururlah penggunaan dalil.”
Jadi,
orang yang mengerti Ushul Fiqih akan merasa malu untuk menjadikan
riwayat Umar ini sebagai hujjah untuk mengharamkan tawassul dengan orang
yang telah meninggal.
e. Mereka mengaggap tawassul dengan orang
yag telah meninggal sebagai syirik, kalau dengan orang yang masih hidup
maka tidak. Lantas apa bedanya? Bertawassul dengan seseorang itu karena
melihat status orang yang ditawassuli, karena kita mengaggap dia sebagai
kekasih Allah. Nah, status kekasih Allah itu tidak berubah setelah ia
meninggal. Sebagian mereka berkata bahwa orang yang telah meninggal itu
tidak bisa memberi manfaat sebagaimana orang yang masih hidup.” Yang
lain berkata: “Allah itu Maha Dekat dan Mendengar, mengapa kita tidak
langsung saja berdoa kepada Allah tanpa perantara!” Maka pernyataan itu
semakin memperjelas kesahpahaman mereka. Berarti, menurut mereka,
tawassul itu minta pada orang yang ditawassuli. Ini sudah jelas keluar
dari arti “bertawassul dengan seseorang”. Dari segi bahasa saja mereka
telah salah memahami arti tawassul. Secara bahasa, tawassul itu artinya
memohon dengan merengek atau merayu. Maka bertawassul dengan seseorang
itu artinya meminta kepada Allah dengan sebuah rayuan berupa menyebut
orang yang dicintai Allah. Sama dengan merayu Zaid bin Umar, misalnya,
dengan berkata “Saya penggemar orang tua Anda, maka demi dia, tolonglah
saya.” Coba perhatikan, siapa yang dimintai diatara Zaid dan Umar itu?
Zaid, Umar atau dua-duanya? Kalau ada yang bilang berarti minta pada
Umar atau pada dua-duanya Zaid dan Umar, berarti orang itu belum bisa
disebut “bisa berbahasa dengan benar”.
Itulah beberapa hal yang
semoga dapat membantu mereka untuk memahami arti tawassul. Baragkali
mereka memang kurang punya sopan santun sehingga tidak menghormati
ulama-ulama ahli Hadits dan sembarangan menyebut mereka sesat.
Setidak-tidaknya agar mereka tidak buru-buru menganggap sesat dan syirik
terhadap mereka
Syirik yang sebenarnya
Syirik yang
sebenarnya adalah ketika kita meminta pada seseorang, baik yang diminta
itu masih hidup atau sudah mati, dengan berkeyakinan bahwa dia mampu
memberi dengan kemampuan mutlak sebagaimana kemampuan yang dimiliki
Allah. Coba kita tanya pada orang yang bertawassul dengan para wali itu,
seawam apapun mereka tidak pernah meyakini bahwa para wali yang
ditawassuli itu mampu memberi dengan kemampuan mutlak sebagaimana
kemampuan yang dimiliki Allah. Demikian pula dengan tabarruk, ketika
mereka menyentuh, mencium dan meminum air rendaman benda bekas orang
shaleh, mereka tidak pernah menganggap benda itu memiliki kekuatan
sebagaimana kekuatan yang dimiliki Allah. Mereka hanya berharap dengan
itu Allah tersentuh untuk mengabulkan doa mereka, atau berharap untuk
mendapat ridha Allah. Hal ini sama dengan perihal orang yang mencium
hadiah pemberian Anda di hadapan Anda. Coba apa yang Anda pikirkan
tentang orang itu? Menurut Anda apa yang ia tuju dengan mencium hadiah
itu di hadapan Anda? Anda pasti berfikir bahwa dia melakukan itu untuk
membuat Anda senang. Demikian pulalah yang terjadi pada orang yang
bertabarruk, mereka berharap Allah senang dengan tabarruk itu, karena
yang mereka tabarruki adalah orang atau benda bekas orang yang dicintai
Allah. Itulah yang terjadi pada umumnya kaum muslimin yang bertabarruk.
Kecuali orang awam yang memang masih dalam pengaruh kepercayaan kuno pra
Islam. Dan untuk orang seperti ini tentu saja kita wajib memberi
pengarahan.
Semoga bermanfaat. Wassalam...