Selasa, 18 Januari 2011

Kh. Abdullah Abbas Buntet Pesantren Cirebon.:

KH. Abdullah Abbas adalah seorang figur pejuang dan ulama besar. Beliau pernah berjasa dalam peristiwa 10 November 1945, bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Khollil Bangkalan Madura, mereka semua ikut berjuang dengan menge-rahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu. Beliau adalah sesepuh Pondok Buntet Pesantren Cirebon. Beliau termasuk Kiai Khos yang menjadi rujukan umat Islam Indonesia. Bahkan banyak orang yang menyebutnya sebagai “Sang Panutan” dan “Penyangga Masyarakat”.
Ketika Al-Maghfurullah KH Abd Mujib Ridlwan (putra KH Ridlwan Abdullah, pencipta lambang NU) menyampaikan pertanyaan berikut ini, tak satupun hadirin yg bisa menjawab.
Yakni Kenapa perlawanan rakyat Surabaya itu terjadi 10 Nopember 1945. Kenapa tidak sehari (2 hari) sebelumnya, padahal tentara dan rakyat sdh siap.
Ternyata, dijawab, bahwa saat itu belum diijinkan oleh Hadratusy Syekh KH Hasyim Asyari untuk mulai pertempuran. Mengapa kok tidak diijinkan?

Ternyata beliau menunggu seseorang kekasih Allah dari Cirebon yang akan datang “menjaga langit” Surabaya. Beliaulah Al-Maghfurullah KH Abbas dari Pesantren Buntet Cirebon. Seorang ulama legendaris, yang sekaligus pendekar dengan berbagai ilmu beladiri dan kanuragan. Seorang pakar kitab kuning sekaligus jagoan perang. Beliau ternyata memang baru tiba di Surabaya, pas tanggal 10 Nopember itu. Beliau sangat berperan dalam menggembleng para pejuang kemerdekaan dengan berbagai ilmu bela diri dan kesaktian sebagai bekal menghadapi musuh. Bahkan di Jalan Praban (dekat Pasar Blauran Surabaya), disediakan sebuah kolam (bak besar) yang sdh didoai, agar diminum atau dipakai mandi para calon jihad-ers, agar mereka pada kebal peluru. Di samping itu, resolusi Jihad yang dikumandangkan Hadratusy Syekh terbukti sangat ampuh. Seluruh ummat Islam diwilayah Surabaya dan sekitarnya diwajibkan untuk turun berjihad mempertahankan kemerdekaan.
Syukur Alhamdulillah, melalui perjuangan dan doa kekasih2Nya ini, Allah SWT menurunkan “junudal lam tarauha”, sebagaimana pada jaman perang badar.
Sulit dibayangkan, bahwa saat itu Inggris dan NICA sdh siap dengan senjatanya yang extra lengkap, baik berupa 50an pesawat tempur, tank, dll termasuk kapal2 perang yang siap mengirim bom dari pelabuhan Tanjung Perak yg berjarak l.k. 5 km dari Tugu Pahlawan, Namun di pihak rakyat hanya bersenjatakan bambu yang diruncingkan ujungnya, keris, tombak, celurit, dan sebangsanya. Yah siapa yang bisa membayangkan, senjata beginian berhasil dipakai menghalau musuh yang akan masuk melalui Surabaya.


Kiai Abdullah Abbas sejak usia muda sampai jelang wafat banyak memberikan sumbangan pikiran dan tenaga dalam membangun bangsa ini. Prinsip tersebut memang sudah terpatri dalam diri Kiai Dullah, karena Kiai Abdullah Abbas termasuk yang ikut meletakan pundi-pundi kemerdekaan. KH. Abdullah Abbas adalah satu-satunya putera Kiai Abbas yang ikut memimpin dalam berbagai pertempuran melawan Penjajah Belanda.


Saat itu, Kiai Abbas bertempur di Surabaya pada 10 November 1945. Kiai Abdullah Abbas pun turut berangkat bertempur melawan Penjajah. Kiai Dullah melawan Belanda di daerah Sidoarjo bersama Mayjen Sungkono. Bukan itu saja, Kiai Abdullah Abbas dengan pasukannya sering diminta untuk membantu pasukan lain seperti di Tanjung Priok, Cikampek, Menengteng (Kuningan), dan pernah juga berhasil menyerang pabrik gula Sindang Laut. Kiai Dullah aktif menjadi pasukan Hisbullah, bahkan menjadi Kepala Staf Batalyon Hisbullah. Beliau juga menjadi anggota Batalyon 315/Resimen I/Teritorial Siliwangi dengan pangkat Letnan Muda.

Kh. Abdullah Abbas Buntet Pesantren Cirebon.
Riwayat Pendidikan:

Kiai Abdullah Abbas merupakan anak pertama Kiai Abbas dari istrinya yang kedua yaitu Nyai Hajjah I’anah. Kiai Abdullah Abbas mempunyai seorang adik perempuan yaitu Nyai Hajjah Sukaenah, serta adik laki-laki yaitu KH. Nahduddin Royandi. Kiai Abdullah Abbas lahir di Buntet Pesantren Cirebon pada tanggal 7 Maret 1922. Dari perkawinan dengan istri pertamanya yaitu Nyai Hajjah Aisah, Kiai Abdullah mempunyai seorang puteri yaitu Nyai Hajjah Qoriah yang dipersunting oleh KH. Mufassir dari Pandeglang Banten.

Pada tahun 1965, Nyai Hajjah Aisah meninggal dunia. Tak lama kemudian Kiai Abdullah Abbas menikah dengan Nyai Hajjah Zaenab, Putri Qori terkenal KH. Jawahir Dahlan. Dari perkawinan dengan Nyai Hajjah Zaenab, Kiai Dullah dikaruniai sepuluh putra, yaitu Ani Yuliani, Ayip Abbas, Asiah, Ismatul Maula, Laela, Mustahdi, Muhammad, Yusuf, Neneng Mar’atussholiha,dan Abdul Jamil.

Kiai Abdullah Abbas sejak kecil mendapat pembinaan yang serius oleh ayahnya, Kiyai Abbas. Maka tak ayal bila jejak-jejak dan pola hidup Kiai Abbas banyak ditiru oleh Kiai Abdullah Abbas. Selain itu, Kiai Abdullah Abbas mendapat gemblengan dari beberapa Pesantren, Pesantren yang pertama kali disinggahi adalah Pesantren di Pemalang yang dipimpin oleh Kiai Makmur.

Selepas dari Pemalang Jawa Tengah, Kiai Dullah menimba ilmu pada Kiai Ma’sum di Lasem Jawa Tengah. Rampung dari Lasem, Kiai Dullah berguru pada Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari Jombang Jawa Timur. Dan terakhir Kiai Dullah digembleng oleh Kiai Abdul Karim Manaf di Lirboyo.

Selepas dari Pondok Pesantren, Kiai Abdullah Abbas langsung berkiprah di masyarakat. Dengan diserahi sebagai Ketua Batalyon Hisbullah, Kiai Dullah berjuang merebut kemerdekaan. Selepas revolusi fisik, Kiai Abdullah Abbas mengalihkan perjuanganya dari mengangkat senjata beralih pada berdakwah langsung di masyarakat. Jabatan kemiliterannya (Letnan Muda) ditinggalkan dan lebih memilih menjadi Juru Warta pada Juru Penerangan Agama Kabpaten Cirebon. Lalu menjadi Pengatur Guru Agama Islam Kabupaten Cirebon dan Jabatan terakhir adalah Kepala MAN Buntet Pesantren Kabupaten Cirebon.

Memadukan Kitab Kuning dan Ilmu Kanuragan

Buntet hingga saat ini dikenal sebagai pesantren yang sangat prestisius hingga sekarang, tidak hanya dari segi mutu pendidikan yang disajikan, sebagai pesantren salaf yang mengajarkan berbagai kitab kuning bertaraf babon, tetapi pesantren ini juga memiliki peran-peran sosial politik yang diambil oleh para pemimpinnya. Kualitas pengajian dan kharisma seorang kiai merupakan daya tarik utama dalam system pendidikan pesamtren Salaf. Dan ini tetap dipertahankan dalam system pendidikan pesantren Buntet sebabagi sosok pesantren salaf yang tidak pernah kehilangan pesona dan peran dalam dunia modern.

Tersebutlah saat ini peran sosial politik yang diambil kiai Abdullah Abbas, selalu menjadi rujukan para pemimpin nasional. Tidak hanya karena pengikutnya banyak, tetapi memang nasehat dan pandangannya sangat berisi. Semuanya itu tidak diperoleh begitu saja, melainkan hasil pergumulan panjang, yang penuh pengalaman dan pelajaran, sehingga membuat para tokoh matang dalam kancah perjuangan. Bukan sekadar tokoh yang berperan karena mengandalkan popularitas keluarga atau keturunannya. Semuanya itu tidak terlepas dari peran para pendahulu pesantren Buntet ayah Kiai Abdullah Abbas sendiri yaitu Kiai Abbas, seorang ulama besar yang mampu memadukan kitab kuning dan ilmu kanuragan sekaligus, sebagai sarana perjuangan membela umat.

Melawan Penjajah Belanda

Walaupun saat itu, Kiai Abbas sudah berumur sekitar 60 tahun, tetapi tubuhnya tetap gagah dan perkasa. Rambutnya yang lurus dan sebagian sudah memutih, selalu di tutupi peci putih yang dilengkapi serban – seperti lazimnya para kiai. Dalam tradisi pesantren, selain dikenal dengan tradisi ilmu kitab kuning, juga dikenal dengan tradisi ilmu kanuragan atau ilmu bela diri, yang keduanya wajib dipelajari. Apalagi dalam menjalankan misi dakwah dan berjuang melawan penjahat dan penjajah. Kehadiran ilmu kanuragan menjadi sebuah keharusan.

Oleh karena itu ketika usianya mulai senja, sementara perjuangan kemerdekaan saat itu sedang menuju puncaknya, makaa pengajaran ilmu kanuragan dirasa lebih mendesak untuk mencapai kemerdekaan.

Maka dengan berat hati terpaksa ia tinggalkan kegiatannya mengajar kitab-kitab kuning pada ribuan santrinya. Sebab yang menangani soal itu sudah diserahkan sepenuhnya pada kedua adik kandungnya, KH. Anas dan KH. Akyas. Sementara Kiai Abbas sendiri, setelah memasuki masa senjanya, lebih banyak memusatkan perhatian pada kegiatan dakwah di Masyarakat dan mengajar ilmu-ilmu kesaktian atau ilmu beladiri, sebagai bekal masyarakat untuk melawan penjajah.Tampaknya ia mewarisi darah perjuangan dari kakeknya yaitu Mbah Qoyyim, yang rela meninggalkan istana Cirebon karena menolak kehadiran Belanda. Dan kini darah perjuangan tersebut sudah merasuk ke cucu-cucunya. Karena itu Kiai Abbas mulai merintas perlawanan, dengan mengajarkan berbagai ilmu kesaktian padsa masyarakat.

Tentu saja yang berguru pada Kiai Abbas bukan orang sembarangan, atau pesilat pemula, melainkan para pendekar yang ingin meningkatkan ilmunya. Maka begitu kedatangan tamu ia sudah bisa mengukur seberapa tinggi kesaktian mereka, karena itu Kiai Abbas menerima tamu tertentu langsung dibawa masuk ke kamar pribadinya. Dalam mkamar mereka langsung dicoba kemampuannya dengan melakukan duel, sehingga membuat suasana gaduh. Baru setelah diuji kemampuannya sang kiai mengijazahi berbagai amalan yang diperlukan, sehingga kesaktian dan kekebalan mereka bertambah.

Dengan gerakan itu maka pusantren Buntet dijadikan sebagai markas pergerakan kaum Republik untuk melawan penjajahan. Mulai saat itu Pesantren Buntet saat itu menjadi basis perjuangan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam barisan Hizbullah. Sebagaimana Sabilillah, Hizbullah juga merupakan kekuatan yang tanggung dan disegani musuh, kekuata itu diperoleh berkat latihan-latihan berat yang diperoleh dalam pendidikan PETA (Pembela Tanah Air) di Cibarusa semasa penjaajahan Jepang. Organisasi perjuangan umat Islam ini didirikan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Anggotanya terdiri atas kaum tua militan. Organisasi ini di Pesantren Buntet, diketuai Abbas dan adiknya KH. Anas, serta dibantu oleh ulama lain seperti KH. Murtadlo, KH. Soleh dan KH. Mujahid.

Karena itu muncul tokoh Hizbullah di zaman pergerakan Nasional yang berasal dari Cirebon seperti KH. Hasyim Anwar dan KH. Abdullah Abbas putera Kiai Abbas. Ketika melakukan perang gerilya, tentara Hizbullah memusatkan pertahahannya di daerah Legok, kecamatan Cidahu, kabupaten Kuningan, dengan front di perbukitan Cimaneungteung yang terletak didaeah Waled Selatan membentang ke Bukit Cihirup Kecapantan Cipancur, Kuningan. Daerah tesebut terus dipertahankan sampai terjadinya Perundingan Renville yang kemudian Pemerintah RI beserta semua tentaranya hizrah ke Yogyakarta.

Selain mendirikan Hisbullah, pada saat itu di Buntet Pesantren juga dikenal adanya organisasi yang bernama Asybal. Inilah organisasi anak-anak yang berusia di bwah 17 tahun. Organisasi ini sengaja dibentuk oleh para sesepuh Buntet Pesantren sebagai pasukan pengintai atau mata-mata guna mengetahui gerakan musuh sekaligus juga sebagai penghubung dari daerah pertahanan sampai ke daerah front terdepan. Semasa perang kemerdekaan itu, banyak warga Buntet Pesantren yang gugur dalam pertempuran. Diantaranya adalah KH. Mujahid, kiai Akib, Mawardi, Abdul Jalil, Nawawi dan lain-lain.

Basis kekuatan laskar yang dibangun oleh Kiai Abbas itu kemudian menjadi pilar penting bagi tercetusnya revolusi November di surabaya tahun 1946. Peristiwa itu terbukti setelah Kiai Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad pada 22 Oktober 1946, Bung Tomo segera datang berkonsultasi pada KH. Hasyim Asy’ari guna minta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris. Tetapi kiai Hasyim menyarankan agar perlawanan rakyat itu jangan dimulai terlebih dahulu – sebelum KH. Abbas, sebagai Laskar andalannya datang ke Surabaya. Memang setelah itu laskar dari pesantren Buntet, di bawah pimpinan KH. Abbas beserta adiknya KH. Anas, mempunyai peran besar dalam perjuangan menentang tentara Inggris yang kemudian dikenal dengan peristiwa 10 november 1945 itu. Atas restu Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, ia terlibat langsung dalam pertempuran Surabaya tersebut. Selanjutnya kiai Abbas juga mengirimkan para pemuda yang tergabung dalam tentara Hizbullah ke berbagai daerah pertahanan untuk melawan penjajah yang hendak menguasai kembali rtepublik ini, seperti ke Jakarta, Bekasi, Cianjur dan lain-lain.

Dialah santri yang mempunyai beberapa kelebihan, baik dalam bidang ilmu bela diri maupun ilmu kedigdayaan. Dan tidak jarang, KH. Abbas diminta bantuan khusus yang berkaitan dengan keahliannya itu.Hubungan Kiai Hasyim dengan Kiai Abbas memang sudah lama terjalin, terlihat ketika pertama kali Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantrean Tebuireng, Kiai sakti dari Cirebon itu banyak memberikan perlindungan, terutama saat diganggu oleh para penjahat setempat, yang merasa terusik oleh kehadiran pesantren Tebuireng. Sekitar tahun 1900, KH. Abbas datang dari Buntet bersama kakak kandungnya, KH.Soleh Zamzam, Benda Kerep, KH.Abdullah Pengurangan dan Kiai Syamsuri Wanatar. Berkat kehadiran mereka itu para penjahat yang dibeking oleh Belanda, penguasa pabrik gula Cukir itu tidak lagi mengganggu pesantren tebuireng, kapok tidak berani mengganggu lagi. Tradisi pessantren antara kanuragan, moralitas dan kitab kuning saling menopang, tanpa salah satunya yantg lain tidak berjalan, karena itu semua merupakan tradisi dalam totalitasnya.

Memimpin Pesantren Buntet

Dengan bermodal ilmu pengetahuan yang diperoleh dari berbagai pesantren di Jawa, kemudian dipermatang lagi dengan keilmuan yang dipelajari dari Mekah, serta upayanaya mengikuti perkembangan pemikiran Islam yang terjadi di Timur Tengah pada umumnya, maka mulailah Kiai Abbas memegang tampuk pimpinan Pesantren Buntet Waruisan dari nenek moyangnya itu dengan penuh kesungguhan. Dengan modal keilmuan yang memadai itu membuat daya tarik pesantren Buntet semakin tinggi.
Sebagai seorang Kiai muda yang energik ia mengajarkan berbagai khazanah kitab kuning, namun tidak lupa memperkaya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang saat itu. Maka kitab-karya ulama Mesir seperti tafsir Tontowi Jauhari yang banyak mengupas masalah ilmu pengetahuan itu mulai diperkenalkan pada para santri. Demikian juga tafsir Fahrurrozi yang bernuansa filosofis itu juga diajarkan. Dengan adanya pengetahuan yang luas itu pengajaran ushul fikih mencapai kemajuan yang sangat pesat, sehingga pemikiran fikih para alumni Buntet sejak dulu sudah sangat maju. Sebagaimana umumnya pesantren fikih memang merupakan kajian yang sangat diprioritaskan, sebab ilmu ini menyangkut kehidupan sehari-hari masyarakat.
Dengan sikapnya itu maka nama Kiai Abbas dikenal keseluruh Jawa, sebagai seorang ulama yang alim dan berpemikiran progresif.Namun demikian ia tetap rendah hati pada para santrinya, misalnya ketika ditanya sesuai yang tidak menguasasi, atau ada santri yang minta diajari kitab yang belum pernah dikajianya ulang, maka Kiai Abbas terus terang mengatakan pada santrinya bahwa ia belum menguasasi kitab tersebut, sehingga perlu waktu untuk menelaahnya kembali.

Walaupun namanya sudah terkenal diseantero pulau jawa, baik karena kesaktiannya maupun karena kealimannya, tetapi Kiai Abbas tetap hidup sederhana. Di langgar yang beratapkan genteng itu, ada dua kamar dan ruang terbuka cukup lebar dengan hamparan tikar yang terbuat dari pandan. Di ruang terbuka inilah kiai Abbas menerima tamu tak henti-hentinya. Setiap usai shalat Dhuhur atau Ashar, sebuah langgar yang berada di pesantren Buntet, Cirebon itu selalu didesaki para tamu. Mereka berdatangan hampir dari seluruh pelosok daerah. Ada yang datang dari daerah sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah bahkan juga ada yang dari Jawa Timur. Mereka bukan santri yang hendak menimba ilmu agama, melainkan inilah masyarakat yang hendak belajar ilmu kesaktian pada sang guru.

Tokoh Pluralis Sejati:

Kiai Abbas, ayahanda Kiai Abdullah Abbas, adalah seorang tokoh yang sangat menghargai manusia dengan apa adanya, Beliau tidak membeda-bedakan manusia baik dari segi ras, agama dan keturunan. Dihadapan Kiai Abbas semua manusia sama. Ini dibuktikan dengan banyaknya tamu dari berbagai kalangan yang datang dari berbagai kalangan ke rumah Kiai Abbas. Bahkan Beliau mempunyai anak angkat keturunan Tionghoa yaitu Kiai Usman.

Tampaknya pola hidup ini juga yang diikuti oleh anak-anaknya. Nyai Hajjah Sukaenah (Istri KH. Kahawi) pada tahun 1970-an ketika mempunyai mobil angkutan, sopirnya bernama Siem Oek, warga Sindang Laut Cirebon keturunan Tionghoa yang beragama Kristen. Padahal saat itu, berhubungan dengan orang yang tidak seagama masih dipandang sangat tabu. Sementara KH. Nahduddin Royandi yang tinggal di London (Inggris) menikah dengan warga negara Inggris keturunan Perancis.

KH. Abdullah Abbas sendiri, sering sekali didatangi tamu dari berbagai kalangan. Semuanya diterima dengan baik. Dr. Ferdy Sulaeman, STh, Ketua wadah Komunikasi dan Pelayananan Umat Beragama Jakarta Timur, ketika mengadakan Live In Pemuda Pemudi Lintas Agama pada tanggal 5 sampai 8 bulan Januari tahun 2006.

Kiai Abdullah Abbas, sebagaimana juga Kiai Abbas ayahnya, selalu menghormati tamu-tamunya tanpa pandang bulu. Siapa pun yang hadir di rumahnya, pasti mendapat penghormatan yang sama. Maka wajar bila rumah Kiai Dullah sering kedatangan tamu, baik pejabat seperti Presiden, Gubernur, Bupati, dan pejabat lainnya, pernah juga beberapa Bintang Film dan rakyat kecil.

Ketika warga Buntet Blok Bulak mendapat tekanan dari aparat karena mendemo Galian C yang hampir sampai rumah mereka, wong-wong cilik itu langsung memohon perlindungan pada Kiai Abdullah Abbas. Walaupun saat itu beliau dalam keadaan sakit, Kiai Dullah menemui mereka dan memberi semangat, “Teruskan perjuangan dan semoga berhasil,” pesan Kiai Dullah singkat.

Kecintaan Kiai Dullah terhadp wong cilik, sangat dirasakan dalam pola kehidupan sehari-harinya. Kiai Dullah selalu ngemong rakyat cilik. Dalam pengajian kitab Kuning, Kiai Dullah cenderung mengajarkan kitab-kitab yang sederhana dan simpel, seperti Kitab Safinah Annajah, Sulam Annajah, Sulam Attaufiq, Uquduljain dan kitab-kitab yang relatif tipis. Hal itu karena ia mengikuti pola pendidikan Mbah Muqoyyim (salah satu sesepuh Buntet Pesantren) yang populis, “Ajarkan Kitab Safinah (dengan bahasa yang sederhana) dengan wawasan Ihya Ulumuddin (Penjelasan yang Koprehensif).”

Maka tak aneh, setiap kali ngaji pasaran (pengajian khusus bulan Ramadhan), walaupun kitab yang dibaca sangat sederhana dan tipis, tapi yang ngaji banyak juga banyak juga orang dewasa. Selain cara pendidikan yang mengarah pada penyampaian yang sederhana tapi luas, Kiai Dullah juga secara priodik memberikan santunan kepada anak yatim dan fakir miskin yang berada di Buntet Pesantren.


Kh. Abdullah Abbas Buntet Pesantren Cirebon.
Perjuangan Khittah NU:

Pada tahun 1984, ketika situasi politik telah membelokan arah NU, Kiai Dullah bersama Kiai Syafi’i dari Plumbon dan Gus Dur, melakukan gerakan perlunya NU kembali ke Khittah tahun 1926. Gerakan ini tentunya mendapat tantangan yang sangat hebat dari berbagai kalangan.

Walau mendapat tantangan yang cukup berat, namun karena cintanya kepada warga NU, Kiai Abdullah Abbas terus berjuang dengan bersafari dari satu daerah ke daerah yang lain untuk melakukan kampanye perlunya NU kambali ke Khittah tahun 1926. Kiai Abdullah Abbas memang sejak muda aktif di NU. Bermula dari GP Anshor. Beliaupun pernah menjadi Ketua Rois Syuriah NU Jawa Barat.

Bertemunya Kiai Abdullah Abbas dengan Gus Dur, seakan menemukan kembali persaudaraan yang sempat renggang. KH. Abbas ayah Kiai Abdullah Abaas sangat akrab dengan Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, Kakek Gus Dur. Maka pertemanan antara keduanya membuat Kiai Abdullah Abbas mampu mengembangkan berbagai ide dan gagasan. Dinobatkannya Kiai Dullah sebagi Kiai Khos pada masa Gus Dur, telah membuat Kiai Dullah menjadi rujukan berbagai kalangan.

Dalam usianya yang sudah relatif sepuh, Kiai Abdullah beberapa kali masuk Rumah Sakit Ciremai. Ada beberapa gagasan Kiai Dullah yang sampai sekarang masih dalam proses realisasi yaitu ingin didirikannya Sebuah Sekolah Tinggi Kesehatan, Akademi Kebidanan, Sekolah Tinggi Agama Islam dan Rumah Sakit.

Beberapa sarana pendidikan yang sudah berdiri Saat ini sudah berdiri Madrasah Ibtidaiyah Putra dan Putri, Madrasah Tsanawiyah (MTs) NU Putra 1 dan MTs NU Putra 2 dan MTs Putri, Madrasah Aliyah (MA) NU Putra, MA NU Putri, Akademi Keperawatan, serta Lembaga Bahasa dan Ketrampilan.

Masa Pembentukan NU

Dengan demikian pada dasarnya Kiai Abbas adalah dari keluarga alim karena itu pertama ia belajar pada ayahnya sendiri. KH. Abdul Jamil. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama baru pindah ke pesantren Sukanasari, Plered, Cirebon dibawah pimpinan Kiai Nasuha. Setelah itu, masih didaerah Jawa Barat, ia pindah lagi ke sebuah pesantren salaf di daerah Jatisari dibawah pimpinan Kiai Hasan. Baru setelah itu keluar daerah yakni ke sebuah pesantren di Jawa Tengah,tepatnya di kabupaten Tegal yang diasuh oleh Kiai Ubaidah.

Setelah berbagai ilmu keagamaan dikuasai, maka selanjutnya ia pindah ke pesantren yang sangat kondang di Jawa Timur, yakni Pesantren Tebuireng, Jombang di bawah asuhan Hadratusyekh Hasyim Asy’ari, tokoh kharismatik yang kemudian menjadi pendiri NU. Pesantren Tebuireng itu menambah kematangan kepribadian Kiai Abbas, sebab di pesantren itu ia bertemu dengan para santri lain dan kiai yang terpandang seperti KH. Abdul Wahab Chasbullah (tokoh dan sekaligus arsitek berdirinya NU) dan KH. Abdul Manaf turut mendirikan pesantren Lirboyo, kediri Jawa Timur.

Walaupun keilmuannya sudah cukup tinggi, namun ia seorang santri yang gigih, karena itu tetap berniat memperdalam keilmuannya dengan belajar ke Mekkah Al-Mukarramah. Beruntunglah ia belajar ke sana, sebab saat itu di sana masih ada ulama Jawa terkenal tempat berguru, yaitu KH. Machfudz Termas (asal Pacitan, Jatim) yang karya-karya (kitab kuning) –nya termasyhur itu. Di Mekkah, ia kembali bersama-sama dengan KH. Bakir Yogyakarta, KH. Abdillah Surabaya dan KH. Wahab Chasbullah Jombang. Sebagai santri yang sudah matang, maka di waktu senggang Kiai Abbas ditugasi untuk mengajar pada para mukminin (orang-orang Indonesia yang tertinggal di Mekkah). Santrinya antara, KH. Cholil Balerante, Palimanan, KH. Sulaiman Babakan, Ciwaringin dan santri-santri lainnya.

Sekian.


Cari Blog Ini

KIRIMKAN SMS ANDA LEWAT BLOG KAMI GRATIS.:

يس

free counters